S Y U K U R
Syukur /
berterima kasih atas segala nikmat pemberian ِAlloh. Baik “ni’matul-iijaad” (nikmat
diwujudkan) maupun ni’matul-imdaad (nikmat
dipelihara). Nikmat-nikmat lahiriyah dan batiniah, nikmat materiil dan nikmat
moril spirituil, nikmat yang langsung dan nikmat yang tidak langsung, nikmat
umum dan nikmat khusus. Semua itu wajib kita syukuri. Kita syukuri bil
ijmaal dan terperinci, sekalipun sesungguhnya kita tidak mampu mensyukuri
nikmat secara keseluruhan. Jangankan men-syukuri, sedangkan menghitung sajapun
tidak mampu karena dari banyaknya nikmat pemberian ِAlloh kepada kita manusia.
Firman
I :
وَإِن
تَعُدُّواْ نِعْمَةَ اللَّهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ الإنْسَــانَ لَظَـلُومٌ
كَفـــَّارٌ
{14-إبـراهـــيم43 )
Artinya
kurang lebih :
“Jika kamu sekalian menghitung-hitung nikmat pem-berian ِAlloh, kamu
sekalian tidak akan mampu mengh-itungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat
dholim dan sangat kufur” (14 –
Ibrohim – 34).
Manusia sangat dholim
dan sangat kufur. Mari kita akui dengan jujur serta memohon maghfiroh
ampunan kepada ِAlloh I, Tuhan Maha Pelimpah
nikmat.
AL FAATIHAH !
Adapun cara bersyukur,
pertama kita harus menyadari dan merasa mendapat nikmat. Kedua,
mengerti, mengetahui, menya-dari siapa yang memberi nikmat itu. Ketiga, syukur billisan ; umpamanya mengucapkan “ALHAMDULILLAH”
atau lainnya yang maksudnya mengutarakan rasa terima kasih. Ke empat,
menggunakan nikmat tadi untuk perkara yang diridloi oleh yang memberi nikmat.
الشُّكْــرُ
صَـرْفُ الـنِّـعَـمِ فِـيْمَا يـَرْضَى
بِهِ الْـمُـنْـعِــــمُ
(Definisi syukur yaitu menasharufkan
berbagai nikmat untuk sesuatu yang
diridloi oleh yang memberi nikmat).
Jika
nikmat-nikmat itu tidak dipergunakan untuk hal-hal yang diridloi oleh yang
memberi nikmat, tidak sesuai dengan kehendak yang memberi, itu namanya
menyalahgunakan nikmat. Berarti dholim. Mari kita koreksi diri kita
masing-masing termasuk yang syukurkah atau termasuk yang dholim!
Nikmat pemberian oleh ِAlloh dapat digolongkan
menjadi dua golongan. Pertama, Ni’matul-ijaad (nikmat diwujudkan) dan
kedua Ni’matul-imdaad (nikmat dipelihara). Pemeliharaan ِAlloh terhadap
makhluk ciptaan-Nya itu berjalan terus-menerus tiada putus-putusnya bagaikan
air yang mengalir. Sekiranya makhluk itu terlepas dari pemeliharaan ِAlloh,
niscaya seketika itu akan menjadi ‘adam (lenyap), tidak wujud lagi. Jadi
segala makhluk ini, termasuk pribadi kita masing-masing dan segala apa yang ada
pada diri kita, seperjuta detikpun tidak lepas dari pemeliharaan ِAlloh I.
Maka oleh karena-nya seharusnya syukur kita kepada ِAlloh tidak boleh terhenti
sedetikpun. Jadi mestinya sedetikpun tidak boleh lupa, harus terus ingat dan
sadar kepada yang memberi yaitu ِAlloh I.
Istilah Wahidiyah harus terus menerus senantiasa merasa BILLAH.
Sedetik
saja tidak merasa BILLAH berarti sedetik itu juga tidak merasa syukur.
Sedetik kufur. Padahal firman ِAlloh dalam surat Ibrohim ayat 7
tegas-tegas memberi peringatan kepada kita umat manusia tentang akibat orang
yang tidak bersyukur atau mengkufuri nikmat :
وَإِذْ
تَأَذَّنَ رَبُّكـُمْ لَئِن شَكَرْتـُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفـَرْتُمْ
إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيْـدٌ (4 – ابرهيم 7)
Artinya
kurang lebih :
“Dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu mema’lumkan: “Sesung-guhnya jika kamu bersyukur, pasti
KAMI akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengkufuri / mengingkari
(nikmat-KU) maka sesungguhnya siksaan-KU sangat pedih”. (14
Ibrohim : 7).
Maka dari itu kita harus selalu berhati-hati dan
mawas diri jangan sampai lengah sedetikpun tidak syukur. Dan di dalam kita
bersyukur itu jangan sampai tertarik / menengok kepada LA-AZIIDANNAKUM (aku bersyukur agar
mendapat tambahan nikmat) Ini tidak
boleh. Suu-ul adab, dan bukan bersyukur lagi namanya, melainkan
memperalat syukur untuk keinginan dan kepuasan nafsu. Jadi kita bersyukur juga
harus dilandasi niat LILLAH - ikhlas ibadah kepada ِAlloh tanpa pamrih.
Maka yang disebut syukur sempurna adalah syukur yang dijiwai LILLAH-BILLAH.
Atau dengan kata lain orang yang senantiasa LILLAH BILLAH. Itulah orang
yang benar-benar bersyukur.
Sasaran atau obyek kepada siapa kita bersyukur itu
harus ganda. Kepada I Tuhan Pemberi nikmat, dan kepada
manusia atau makhluk yang menjadi perantaraan datangnya nikmat itu. Bersabda
Rasulullah e:
مَـنْ
لَـمْ يَشْكُرِ الْـقَـلِيْلَ لَـمْ يَشْكُرِ الْكَثِـيْرَ وَمَـنْ لَـمْ يـَشْكُرِ
الـنَّاسَ لَـمْ يَـشْكُرِ اللهَ
عـن
الــنعـمان بـن بـشــير / ابـن عـباد ثـان :
73
“Barang siapa yang tidak mensyukuri nikmat
sedikit, maka dia tidak mensyukuri nikmat banyak, dan barang siapa yang tidak
bersyukur kepada manusia maka ia tidak bersyukur kepada Alloh ( Riwayat Nu’man bin Basir ).
Yang dimaksud‘manusia’ yaitu
manusia yang ada hubungan-nya dengan nikmat yang kita terima atau yang menjadi
peran-taraan datangnya nikmat.
Pada dasarnya, segala makhluk dan khususnya
manusia lebih-lebih yang ada hubungan hak dengan kita, hak moril atau hak
material, dari satu segi semua itu ada hak untuk disyukuri. Kita berkewajiban
syukur / berterima kasih kepada semuanya yang sepadan dengan jasa
masing-masing. Orang yang paling besar jasanya kepada kita, malah, kita tidak
dapat menghitung-nya adalah Junjungan
kita Baginda Nabi Besar Muhammad Rosullulloh e.
Maka syukur / terima kasih kita kepada Beliau e, disamping kepada Alloh I, haruslah melebihi syukur kita kepada yang lain..
Antara lain dan ini yang sangat prinsip
ialah dengan menerapkan LIRROSUL BIRROSUL. Bahkan penerapan ini adalah
paling pokok dan dijadikan jiwa dalam
segala kegiatan ibadah kita kepada Alloh I,
disamping LILLAH BILLAH. Selain itu sebagai cetusan rasa syukur kepada
Beliau Baginda Nabi e,
yaitu memperbanyak membaca sholawat. Dan seperti sudah sering kita sebutkan di
muka, di dalam Wahidiyah selalu dianjurkan memperbanyak membaca ”YAA
SAYYIDII YAA ROSUULALLOH” di mana dan kapan saja kita ada kesempatan.
Inipun dapat digolongkan realisasi syukur / berterima kasih kepada Rosulloh e. Bahkan
mencerminkan cetusan rasa ta’dhim, mahabbah dan tasyaffu’(mohon
syafaat). Mari kita praktekkan terus.
AL FAATIHAH !
YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar