AJARAN WAHIDIYAH

LILLAH Artinya : segala perbuatan apa saja lahir maupun batin, baik yang berhububungan dengan langsung kepada Alloh wa Rosulihi SAW maupun berhubungan dengan sesama makhluq, baik kedudukan hukumnya wajib, sunnah, atau mubah, asal bukan perbuatanyang merugikan yang tidak di ridloi Alloh, bukan perbuatan yang merugikan, melaksanakanya supaya disertai niat beribadah mengabdikan diri kepada Alloh dengn ikhlas tanpa pamrih ! LILLAH TA’ALA baik pamri ukhrowi, lebih – lebih pamri duniawi

BILLAH : merasa dan menyadari bahwa segalanya termasuk gerak gerik kita, lahir batin, tenaga, pikiran dll adalah ciptaan ALLOH MAHA PENCIPTA !. yakni ''laa haula walaa quwwata illaa billaah '' tiada daya kekuatan melainkan karena Alloh SWT.

LIRROSUL Di samping niat Lillah seperti di muka, supaya juga di sertai dengan niat LIRROSUL, yaitu niat mengikuti tuntunan Rosulullooh SAW

BIRROSUL Penerapannya seperti BILLAH keterangan di muka, akan tetapi tidak mutlak. Dan menyeluruh seperti BILLAH, melainkan terbatas dalam soal – soal yang tidak dilarang oleh Alloh wa Rosulihi SAW. Jadi dalam segala hal apapun, segala gerak – gerik kita lahir batin, asal bukan hal yang dilarang, oleh Alloh wa Rosulihi SAW. Disamping sadar Billah kita supaya merasa bahwa semuanya itu mendapat jasa dari Rosulullooh SAW ( BIRROSUL )

YUKTII KULLA DZII HAQQIN HAQQOH

Memenuhi segala macam kewajiban yang menjadi kewajiban dan tanggung jawabnya tanpa menuntut hak .mengutamakan kewajiban dari pada menuntut hak .contoh ;suami harus memenuhi kewajibannya terhadap sang isteri ,tanpa menuntut haknya dari sang isteri .dan isteri harus memenuhi kewajibannya terhadap suami,tanpa menuntut haknya dari sang suami .anak harus memenuhi kewajibannya kepada orang tua , tanpa menuntut haknya dari orang tua .dan orang tua supaya memenuhi kewaqjibannya terhadap anak, tanpa menuntut haknya dari si anak .dan sebagainya .sudah barang tentu jika kewajiban di penuhi dengan baik, maka apa yang menjadi haknya akan datang dengan sendirinya tanpa di minta .

TAQDIMUL AHAM FAL AHAM TSUMMAL ANFAH’ FAL ANFA’

Mendahulukan yang paling penting , kemudian yang paling besar manfaatnya . jika ada dua macam kewajiban atau lebih dalam waktu yang bersamaan dimana kita tidak mungkin dapat mengerjakannya ,bersama sama ,maka harus kita pilih yang paling aham ,paling penting kita kerjakan lebih dahulu . jika sama sama pentingnya ,kita ,pilih yang lebih besar manfaatnya

Minggu, 23 Desember 2012

al waashiliin - al hikam oleh muallif sholawat wahidiyah


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
( قَطَعَ السـَّائِرِيْنَ لَهُ وَالْوَاصِلِيْنَ اِلَيْهِ عَنْ رُؤْيَةِ اَعْمَالِهِمْ وَشُهُوْدِ اَحْوَالِهِمْ )
BISMILLAAHIR ROHMAANIR ROHIM.
“QOTHO’ AS-SAAIRIINA LAHU WAL WAASHILIINA ILAIHI ‘AN  RUKYATI A’MAALIHIM  WA  SYUHUUDI AHWAALIHIM”.
Setengah dari pada fadlolnya Alloh SWT, Alloh SWT menutupi atau mencegah orang-orang yang “Saairiina” berjalan menuju kepada Alloh SWT dengan mengamalkan segala perbuatan-perbuatan yang diridloi Alloh SWT, Menjauhi larangan-larangan atau soal-soal yang bermanfaat bagi ummat dan masyarakat, menjauhi perbuatan-perbuatan yang merugikan pada ummat dan masyarakat, “Wai waashiliina” orang-orang yang sudah wushul, sudah sampai, sudah sadar kepada Alloh SWT, dua kelompok tersebut mendapat fadlolnya Alloh Ta’ala berupa tidak mengandalkan atau menjagakan amalannya. Tidak mengandalkan amalnya atau gerak gerik hatinya. Baik amal lahiriyah maupun batiniah. “Ahwaa!” adalah amal batiniyah. “An rukyati a’maalihim”, tidak melihat atau mengandalkan amal lahir. “Wa syhuudi ahwaalihim", tidak mengandalkan gerak gerik atau amal batin seperti ridhonya, ikhlasnya, tawakkalnya dan sebagainya. Hanya ingat dan mengandalkan kepada Alloh SWT wa Rosuulihi saw.
Tapi caranya Alloh Ta’ala menyelamatkan dua kelompok tersebut berlain-lainan, tidak sama satu sama lain.
اَمَّا السَّائِرُوْنَ فَِلاَنَّهُمْ لَمْ يَتَحَقَّقُوْا الصِّدْقَ مَعَ اللهِ فِيْهَا
“AMMAS-SAAIRUUNA FALIANNAHUM LAM YATAHAQQOQUUS-SHIDQO
MA’ALLOHI FIIHA”
Adapun mereka kaum “saairiina”, mereka yang sedang dalam perjalanan menuju kepada Alloh wa Rosiilihi saw, mereka merasa tidak dapat melaksanakan amal- amal ibadah kepada Alloh dengan tepat yang sesungguh sungguhnya tepat, yang semestinya. Artinya mereka tidak merasa bisa beramal. Istilah Wahidiyah BILLAH mudahnya.      
Mereka merasa masih kurang ikhlas didalam amal-amal ibadahnya. Kurang tepat. Sekalipun sudah ikhlas, mereka merasa masih kurang ikhlas. Dan rasa kurang ikhlas atau kurang tepat itupun tidak dijagakan.
Itulah setengah dari pada fadhol perlindungan Alloh SWT kepada orang-orang yang belum sadar kepada-NYA tetapi sedang dalam perjalanan menuju kepada Alloh SWT. ”Saairuuna” Orang yang tidak mendapat fadholnya Alloh SWT mungkin lalu ujub dan mengandalkan amalnya. Tapi yang mendapat fadholnya Alloh SWT, sekalipun belum sadar, merasa bahwa ibadahnya masih tidak karu-karuan. Oleh karena itu dia tidak menjagakan amalnya. Apanya yang dijagakan?. Melainkan hanya menjagakan Tuhan semata-mata.
وَاَمَّا الْوَاصِلُوْنَ فَِلاَنَّّهُ غَيَّبَهُمْ بِشُهُوْدِهِ عَنْهَا

 “WAAMMAL WAASHILUUNA FALIANNAHU GHOYYABAHUM BISYUHUUDIHI ANHAA”
Adapun fadholnya Alloh SWT yang diberikan kepada “waashiluuna”, orang yang sudah sadar kepada Alloh, yaitu mereka ditutupi sehingga mereka tidak merasa bahwa dirinya bisa beramal. Dan mereka berkeyakinan kepada soal-soal yang sesungguhnya. Yaitu bahwa amal-amal perbuatannya itu bukan kehendak sendiri, melainkan fadlol dari Alloh SWT . Diamalkan oleh Alloh. Digerakkan oleh Alloh untuk beramal, dia tidak beramal. Oleh karena itu mereka tidak merasa dan tidak menjagakan atau mengandalkan amalnya. Orang tidak beramal kok dijagakan,  apa yang dijagakan ?. Milik orang lain kok dijagakan, ini namanya tidak normal!. Kalau  yang pertama tadi, “Saairuun”, dia merasa amalnya tidak karu-karuan kok dijagakan ?.
Jadi fadlolnya Alloh Ta’ala yang diberikan kepada “saairuun” atau “muuriduun” atau “saalikuun”, sama maksudnya, yaitu mereka diberi perasaan senantiasa tidak ikhlas dalam amal-amal ibadahnya, merasa tidak tepat. Dengan sendirinya karena perasaannya begitu, mereka tidak dijagakan. Tidak menjagakan amalnya.
Adapun yang diberikan kepada orang yang sudah sadar, yaitu berupa perasaan bahwa : “aku ini tidak beramal yang beramal itu haqiqotnya adalah Tuhan”
وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللهَ رَمَى ( الأنفال :١٧ )

WAMAA ROMAITA IDZ ROMAITA WALAKIN ALLOHA ROMAA” (Al Anfaal -17)
(Dan bukan engkau yang melepaskan jemparing (memanah) ketika engkau -memanah, melainkan Alloh yang memanah).
“.... Maka jika aku mengandalkan amalku, ini tidak normal, janggal sekali. Tidak beramal kok mengandalkan amalnya, sama saja dengan menjagakan angin.
إِلاَّ اَنَّهُمْ فَعَلَ ذَلِكَ باِلسـَّالِكِيْنَ كُرْهًا وَبِالْوَاصِلِيْنَ طَوْعًا ...

Akan tetapi, Alloh Ta’ala memaksa kepada golongan yang “saairiin”. Memaksa. Maksanya yaitu merasa mereka tidak ikhlas. Jadi terpaksa. Karena terpaksa, maka tidak bisa diandalkan. Sebab tidak ikhlas.
Yang golongan “waasiluun” tadi tidak paksaan melainkan benar-benar menyadari bahwa dirinya tidak beramal. Tidak mencangkul kok minta bayaran, mana boleh jadi ?. Kelihatannya bekerja itu karena digerakkan kalau tidak digerakkan ya tidak bisa bekerja. Lha ini namanya betul-betul sadar, tidak paksaan.
وَلاَ شَكَّ أَنَّ هَذَا الْمَقَامَ أَرْقَى مِنَ اْلاَوَّلِ
 Dan tidak mamang lagi, bahwa orang-orang yang sudah sadar, “waashiluun” adalah jauh lebih tinggi tingkatannya ‘indallohi daripada orang yang belum sadar.
Dalam bidang tadzallul, yaitu merasa morat marit amalnya, tidak tepat, ini sudah baik. Sawahku dimakan wereng, apa yang saya andalkan ?. Bidang merasa dirinya senantiasa kurang, ini sudah baik. Tetapi dalam bidang kesadaran, dengan sendirinya perasaan “waashiluun”, orang-orang yang sudah sadar tadi, yaitu tidak merasa beramal, ini lebih tinggi ‘indaliohi dari yang pertama. Inilah antara lain yang dimaksud oleh kata-kata :
اِذَا حَفَّتْ الْعِنَا يَةُ اْلاِلَهِيَّةُ عَبْدًا صَارَتْ ذَرَّةٌ مِنْ عُمْرِهِ تُقَاوِمُ عِبَادَةَ اَلْفَ سَنَةٍ

 “IDZAA HAFFATIL – ‘INAAYATUL - ILAHIYYAH ‘ABADAN SHOOROT DZARROTUN MIN ‘UMRIHI TUQOOWIMU ‘IBAADATI ALFA SANAH”
(Jika seseorang mendapat fadlol dari Alloh SWT, maka setiap detik dari detik-detik umurnya, “tuqoowimu ‘ibaadati alfa sanah” - bandingi ibadah seribu tahun). Kalau perlu bahkan lebih dari itu!. Banyak insya Alloh kata-kata seperti itu terdapat didalam Buku Kuliah Wahidiyah.
Betapa keistimewaannya orang yang sadar kepada Alloh SWT !. Sebaliknya betapa kerugiannya orang yang tidak sadar kepada Alloh SWT !. Banyak soal-soal ini sudah dibahas didalam Buku Kuliah Wahidiyah !. Dan Alhamdu Lillah sudah banyak yang kita ketahui!. Antara lain lagi yaitu sabdanya Syekh Abil Hasan Asy-Syadzili:
مَنْ لَمْ يَتَغَلْغَلْ فِىْ عِلْمِنَا هَذَاكَانَ مُسِرًّا عَلَى اْلكَبَائِرِ وَاِنْ عَمِلَ مَا عَمِلَ وَهُوَ لاَيَعْلَمُ

“MAN LAM YATAGHOLGHOL FII ’ILMINAA HAADZA, KAANA MUSIRRON ‘ALAL KABAAIR WAIN ‘AMILA MAA ‘AMILA WAHUWALAA YA ‘LAMU”
(Barang siapa yang tidak mengetrapkan ilmuku itu, maka dia tetap membawa dosa besar sekalipun betapa banyaknya dia punya amal dan dia tidak mengerti atau tidak merasa bahwa dirinya membawa dosa besar).
Begitulah orang yang tidak atau belum sadar kepada Alloh SWT sekalipun ada kebaikan-kebaikannya sedikit, tetapi masih banyak negatif-negatifnya  yang merugikan bagi yang bersangkutan. Seperti disini akan diterangkan :
وَلِهَذَا لَمـَّا سَـأَلَ الْوَاسِطِىُّ اَصْحَابَ أَبِىْ عُثْمَانَ ؛ بِمَاذَا كَانَ يَأْمُرُكُمْ شَيْخُكُمْ ؟ فَقَالُوْا يَأْمُرُنَا بِالْتِزَامِ الطَّاعَاتِ وَرُؤْيَةِ التَّقْصِيْرِ فِيْهَا . فَقَالَ لَهُمْ ؛ أَمَرَكُمْ بِالْمَجُوْسِيَّةِ الْمَحْضَةِ , هَلاَّ أَمَرَكُمْ بِالْغَيْبَةِ عَنْهَا بِشُهُوْدِ مُنْشِئِهَا وَمُجْرِيْهَا ...

Ketika Syekh Wasithi bertanya kepada murid-murid Syekh Abi ‘Usman dengan pertanyaan : “Bagaimana perintah gurumu kepadamu sekalian”. Mereka menjawab “Kami diperintah supaya senantiasa tekun menjalankan tho’at dan supaya senantiasa berlarut-larut pepeko - banyak kesalahan-kesalahan, senantiasa tidak tepat, banyak yang kami salahgunakan, tidak beradab. Maka berkata Syekh Wasithi kepada mereka :
Kalau hanya begitu, gurumu hanya memerintah kamu seperti orang-orang majusi saja. Berarti gurumu itu menjerumuskan kamu semua, membikin kamu semua berbuat syirik. Kamu semua dijlomprongkan kearah majusi. Mestinya yang baik yaitu diperintah Tho’at dan menghilangkan rasa tho’at, sebab hanya beracara kepada Alloh SWT, sungguh-sungguh syuhud, sadar, menyaksikan kepada yang menitahkan dan menggerakkan tho’at.
Jadi merasa “taqshiir” merasa berlarut-larut, merasa tidak tepat, itu dalam
satu segi sudah baik. Tapi dari segi lain, adalah tidak tepat, tidak baik. Tidak tepatnya yaitu kamaa qoola bakdluhum:
رُؤْيَةُ التَّقْصِيْرِ لاَتَخْلُوْعَـنِ الشِّرْكِ فِىْالتَّقْدِيْرِ

 “RUKYATUT-TAQSHIIR LAATAKHLU ‘ANISSYIRKI FIT-TAQDMR”.
(Merasa pepeko, merasa tidak tepat, merasa berlarut-larut, itu tidak lepas dari syirik didalam qodarnya Tuhan). Artinya, tidak ridlo kepada Alloh SWT. Yang membuat dia begitu adalah Alloh SWT. Mengapa dia kok merasa menyesal ?. Berarti tidak ridlo kepada Alloh SWT !. Pada hal “Khoirihi wa syarrihi minalloh” baik dan buruk itu dari Alloh juga datangnya. Sekalipun buruk, jika disesali, itu berarti menyesal kepada Alloh!.  Tidak mau puas kepada Qodar dan rencana Alloh !. Ini negatifnya.
Lalu bagaimana ?. Ya kita harus menyesal atas keburukan-keburukan diri kita, tapi menyesal kita itu harus didasari LILLAH BILLAH !. Diperintah oleh Alloh. Diperintah !. Dan menyesal kita itu Alloh yang menggerakkan kita bisa menyesal!. BILLAH !. Dengan demikian, kita menjadi selamat dari negatif-negatif seperti yang kita bahas ini tadi. Apabila menyesalnya merasa senantiasa berlarut-larut senantiasa tidak tepat, senantiasa suul adab dan sebagainya, hanya begitu saja. Tidak disertai LILLAH BILLAH, menyesal seperti itu adalah LINNAFSI BNNAFSI!. Otomatis !. Kalau begitu, dapatkah kamu berbuat ibadah tidak tepat area digerakkan Tuhan ?. Ibadah yang tepat tidak bisa, tetapi ibadah yang tidak tepat kok bisa, ini berarti syirik ini!.
Maka disamping memperbaiki dan terus usaha memperbaiki ibadah lahiriyah, yang paling pokok adalah hati. Hati harus benar-benar dapat mengetrapkan dengan setepat-tepatnya !. Yah, dalam Wahidiyah sering diutarakan oleh antara lain Bapak K. Zainal, ibarat ban luar dan ban dalam. Ban luar ada lobang sebesar lidi tidak apa-apa, tapi kalau ban dalam, jangankan lobang sebesar lidi, lobang seujung jarumpun sudah tidak bisa dipakai !. Tapi kita ya harus normal, ban luar harus baik, ban dalam pun harus utuh pula, jangan ada yang bocor sebesar rambut sekalipun !.
يَوْمَ لاَيَنْفَعُ مَالٌ وَلاَبَنُوْنَ اِلاَّ مَنْ اَتَىاللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ.(الشعرأ:٨٨-٨٩)

“YAUMA LAA YANFA’U MAALUN WALAA BANUUN, ILLA MAN ATALLOHA  BIQOLBIN SALIM” (As-Syu’aro - 88 - 89)
(Pada hari dimana harta dan anak atau anak buah tidak berguna tidak bisa memberi manfaat, kecuali orang yang datang kepada Alloh dengan hati yang selamat).  Hati yang selamat!. Selamat !. Selamat dari pada selainnya Alloh SWT.

Jadi kembali lagi, kita harus merasa hina dina merasa berlarut-larut didalam ibadah-ibadah kita, tetapi merasa kita demikian itu harus kita dasari LILLAH BILLAH !. Kita diperintah, merasa berlarut-larut !. Diperintah supaya merasa tidak tepat, tidak beradab, senantiasa berlarut-larut !. Dan didalam kita merasa tadi, harus LILLAH BILLAH, otomatis termasuk yang dikecam oleh Syekh Wasithi diatas.
Jadi maksudnya Syekh Wasithi tersebut adalah untuk meningkatkan murid- muridnya Syekh Abi Usman sehingga mereka mencapai maqom sadar kepada Alloh SWT. Tidak berarti menghina orang yang merasa apes, pepeko. Tapi yaitu selama ada dasarnya LILLAH. Kalau tidak ada dasar LILLAH ya tetap terkecam !.
مَابَسَقَتْ اَغْصَانُ ذُلٍّ اِلاَّ عَلَىبَدْرِطَمَعٍ

 “MAA BASAQOT AGHSHOONU DZULLIN ILLA “ALA BADZRI THOMA’IN” (Tidak dapatlah cabang dan rantingnya hina menjadi bertambah kecuali yang tumbuh diatas bibitnya thomak).
Jadi hina digambarkan suatu pohon atau tetumbuhan, dan thomak digambar sebagai bibitnya. Jelasnya hina itu bibitnya adalah thomak. Mengharap- harap atau menjagakan. Barang siapa thomak otomatis kuat, rasa hina pun menjadi makin besar.
Jadi, thomak atau menjagakan, adalah penyakit yang paling berbahaya!. Penyakit ‘ubudiyah!. Penyakit yang menghalang dan merusak kemurnian pengabdian diri kepada Alloh SWT. Bahkan ini suatu syirik sekalipun syirik - syirik yang samar-samar. Thomak, menjagakan. Menjagakan kepada orang lain, atau menjagakan kepada dirinya sendiri sekalipun, menjagakan kepada kemampuannya menjagakan kepada kelincahannya, menjagakan kepada keahliannya, menjagakan kepada Mujahadahnya dan Iain-Iain pokok menjagakan kepada selain Alloh, thomak namanya. Ini suatu racun yang berbahaya sekali. ‘Ubudiyah atau pengabdian diri jika ada thomaknya menjagakan kepada selain Tuhan, sudah, Waasalam !. Jangan diharapk!.
Syirik yang berbahaya sekali!.
اِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُاَنْ يُشْرَكَ بِهِ (الآية)

“INNALLOHA LAA YAGHFIRU AN-YUSYROKABIHI”. ‘Alloh sekali-kali tidak mengampuni jika dipersyirikkan. Selama dia tidak bertobat dan merubah sikap!. Selama dia tidak merobah sikap dan bertobat, tidak diberi maaf!.
Adanya menjagakan kepada selain Tuhan, itu berarti dia keyat bahwa dijagakan itu mampu, padahal yang mampu hanya Alloh SWT. Jadi kalau orang thomak menjagakan seperti itu, otomatis menjadi hina, Hinanya yaitu syirik Terbalik sama sekali !. Semestinya dia sebagai hamba yang apes dlo'if hanya menghambakan diri kepada Tuhan !. Hanya Tuhanlah yang mempunyai sifat Maha Kuasa, Maha Tahu, Maka Kaya, Maha.... Maha.... Maha !. Mengapa kok orang kok menjagakan selain Tuhan ?. Ini terbalik !. Dijagakan berarti dianggap Tuhannya, yang dapat melaksanakan atau memberi apa kebutuhannya
لَقَدْخَلَقْنَااْلاِنْسَانَ فِىْاَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ ثُمَّ رَدَدْنَاهُ اَسْفَلَ سَفِلِيْنَ (التين:٢-٥)
“LAQOD   KHOLAQNAL-INSAANA   Fll AHSANI   TAQWIIM   TSUMMA RODADNAAHUM ASFALA SAAFILIN” (At-Tlin : 4 - 5)
(Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami jungkir balikkan sehingga menjadi asornya-asor)
اِلاّالَّذِيْنَ اَمَنُواْوَعَمِلُواالصَّلِحَتِ فَلَهُمْ اَجْرٌ غَيْرًمَمْنُوْنٍ (التين:٩)

“ILLALLADZIINA AAMANUU WA’AMILUSSHOOLIHAATI FALAHUM AJRUN GHOIRU MAMNUUN”
(Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh maka bagi nereka itulah pahala yang tiada putus-putusnya).
Sungguh-sungguh iman, sungguh-sungguh yakin hanya Alloh yang Maha Kuasa.Wa 'amilus-shoolihaat” - dan beramal sholeh, melaksanakan 'ubudiyah, Pengabdian diri kepada Alloh SWT !.
Para hadirin hadirot, ini perlu adanya koreksi kepada pribadi masing-masing !. Kita pernah menjagakan kepada selain Tuhan atau tidak ?. Menjagakan kepada selain Tuhan, otomatis yang dijagakan itu dianggap dapat memenuhi kebutuhannya!. Sawahnya, ladangnya, tokonya, pasarnya, kantornya, usahanya, keahliannya, ilmunya, teori-teorinya dan Iain-Iain !. Mari kita koreksi keadaan kita masing-masing !. Jika demikian halnya para hadirin hadirot, kita harus cepat-cepat bertobat !. Jika kita tidak tobat, tidak merubah sikap, yah sekalipun umpamanya karena banyaknya amal-amal kita, kita lalu masuk surga, tapi itu tidak semestinya !. Tetap terkecam !. Serupa saja dengan hewan, bahkan lebih -lendah dari hewan atau binatang !. Karuan kalau hewan atau binatang tidak memang tidak punya fikiran. Ingin makan, makan ingin melakukan sex, sex dstnya. jadi kalau kita manusia diberi karunia akal fikiran, sekalipun dimasukkan surga kok hanya seperti itu, namanya serupa saja dengan hewan !. Sekalipun bagaimana indahnya, dengan segala kemewahan dan keindahan sorga, dengan bidadarinya, dengan makanan-makanan dan minuman-minuman, kalau hanya seperti itu saja, itu tidak beda dengan hewan !.
Padahal kita manusia didudukkan oleh Alloh SWT pada tingkatan yang jaauh lebih dari pada itu !.Ini namanya kita mengikuti kehendak Alloh SWT !. Tidak menghargai penghormatan Alloh SWT kepada kita manusia !.. Mau bikin keinginan dan kehendak sendiri!.
Para hadirin hadirot, mari para hadirin hadirot, kita mampu, kita diberi kemampuan !. Sekalipun bisa selamat, tapi jika tidak sesuai tidak nyocoki dengan kehendak dari yang punya, yang kompeten, ini berarti masih menyalahi yang besaar sekali !.Taruhlah sebagai gambaran misalnya saya mau bertamu kepadasaudara. Saudara hormati dengan segala kemewahan hidangan yang indah-indah. Tapi saudara tidak menaruh rasa puas kepada saya. Tentulah saya tidak segembira kepuasan dan keramahan saudara.
Sekalipun tanpa suguhan hidangan yang mewah-mewah, asal saudara temui
saya dengan segala keramahan dan kepuasan, tentulah lebih menyenangkan
dari pada banyak hidangan yang mewah-mewah tapi, tuan rumahnya tidak
menemui tidak puas terhadap tamunya.
Begitu juga para hadirin hadirot, kita manusia ini diangkat oleh Alloh, Tuhan kita, didudukkan ditempat yang sangat mulia disisi Tuhan, asal kita mau. Tapi sayang , sebagian orang merasa puas hanya dengan keindahan sorga saja. Puas menjadi seperti binatang belaka. Ingin minum, minum, ingin makan, makan, nafsu sex, sex dan sebagainya!. Dalam lahiriyah kelihatan aktif, senantiasa tho'at, sembahyangnya aktif, berjamaah aktif, mujahadah aktif, memberi pengajian-pengajian aktif, amal-amal sosial giat, tapi sayang, soal yang pokok yaitu kesadaran kepada Alloh wa Rosuulihi saw tidak dijadikan acara yang paling aham. Bahkan aktifitas dan kegiatan-kegiatannya itu tadi justru hanya untuk ingin menduduki martabat kesenangan-kesenangan seperti yang dialami oleh hewan-hewan atau binatang. Hanya kepuasan lahir jasmani saja.
Mari para hadirin hadirot kita tingkatkan 'ubudiyah kita kepada Alloh SWT !. Mari kita merobah sikap, jangan terus menerus thomak kepada selain Alloh !. Alloh Kita diberi kemampuan untuk itu, para hadirin hadirot!.
Disini dikatakan:
فَالطَّمَعُ مِنْ أَعْظَمُ الْعُيُوْبِ اْلقَادِحَةِ فِىْاْلعُبُوْدِيَّةِ بَلْ هُوَ أَصْلُ جَمِيْعِ اْلاَفَاتِ
Maka thomak adalah merupakan cacat yang paling besar yang merusak dan memusnahkan ‘ubudiyah. Bahkan ia adalah sumber dari segala afaat bencana !. Sebab yaitu tadi, hubungannya hanya kepada manusia. Adapun sebabnya yaitu syak atau ringkihnya iman.
Para hadirin hadirot, kita mampu untuk mengukuhkan iman, untuk menguatkan tauhid !. Ya mudah-mudahan para hadirin hadirot, kita dikaruniai keyakinan yang membaja, yang tidak luntur kena sinar matahari dan tidak melengkung kena panas, tidak lapuk kena hujan !. Amiin !.
Pada suatu ketika Sayyidinaa ‘Ali Ibnu Abi Tholib rodliyallohu “anhu semasa beliau menjadi Kholifah mendatangi ke Masjid Basrah menemui para pembicara yang berada di Masjid tersebut. Para pembicara itu diusir dilarang berbincang-bincang disitu. Akhirnya ketemu Syekh Hasan Basri, yang waktu itu masih remaja. Lalu ditanya oleh Sayyidinaa “Ali:
“Wahai anak muda, aku mau bertanya kepadamu tentang satu hal. Jika engkau tidak dapat menjawabnya, harus pergi dari sini”.
‘Baik, saya sedia”. Jawab pemuda Hasan Basri.
“Apa yang menjadi kunci yang menguasai Agama? .
“Wirdi”. Jawab Hasan Basri.
“Dan apa yang menjadi perusak agama”
Tanya Sayyidina ‘Ali lagi. Thomak”
Thomak”. Jawab Hasan Basri.
“Kalau begitu duduklah, teruskan !. Dan orang seperti engkau ini memang patut bercakap-cakap memberi petunjuk kepada manusia”.
Demikian Sayyidina ‘Ali.
“Waro- waro’ adalah kebalikan dari thomak, thomak yang menjagakan selainnya Alloh. Bukan hanya kepada manusia saja, tapi pokoknya selain Tuhan. Ya sawahnya, ya majikannya, ya pasarnya, ya ilmunyaya keahliannya, ya rencana-rencananya, ya tokonya, ya pekerjaannya dan sebagainya. Ini thomak namanya !. mengharap atau menjagakan selainnya Alloh SWT. Soal materiil atau moril.
“Waro” -  yaitu selamat dari menjagakan-menjagakan itu tadi, meninggalkan menjagakan kepada selain Tuhan, sehingga hanya kepada Tuhan belaka mengarahkan harapan atau keinginannya
Para hadirin hadirot!. Yang kita bahas ini tadi adalah bidang TAUHID dan bidang Adab. Jadi yang dimaksud “Waro” sebagai kebalikan dari “thomak” disini ialah hanya menjagakan kepada Tuhan belaka. Thomak, menjagakan kepada selain Tuhan.
“Waro” ada bermacam-macam. Antara lain warok meninggalkan barang yang syubhaat. Ini mungkin halal mungkin harom, ditinggalkan. Ini juga waro’. Ragu-ragu, ditinggal. Ini Waro’. Waro’ meninggalkan barang yang syubhaat, atau yang khilaaful aula yang kurang utama, atau yang makruh. Atau meninggalkan barang yang halal karena takut kurang mambawa manfaat. Sekalipun ini halal barang yang boleh, jangan-jangan nanti saya salah gunakan. Lalu ditinggal. Itu juga Waro’.
تَرْكُ شَطْرِ الْحَلاَلِ مَخَافَةً أَنْ يَقَعَ فِىْالْحَرَامِ اَوْفِىْالْمَعَاصِى
Meninggalkan perkara halal, meninggalkan hal-hal yang boleh ditinggalkan, itu boleh saja. Oleh karena sekalipun itu  perkara halal atau perkara yang boleh dilakukan, akan tetapi mungkin mengakibatkan hal-hal yang tidak semestinya. Maka ditinggalkan. Itu Waro’ namanya. Boleh saja. Bahkan lebih baik ditinggalkan.
Ya, mudahnya “Waro” dalam pengertian umum, dalam masyarakat, yang hal-hal syubaat atau campur. Campur antara haram dan halal, campur antara boleh dan tidak boleh. Atau hal-hal yang masih ragu-ragu. Meninggalkannya, itu Waro’ namanya. Atau, ya seperti itu tadi, sekalipun ini halal, diperbolehkan, bukan maksiat tapi mungkin sekali aku tertarik atau terpengaruh kesitu. Lalu ditinggalkan Waro’. Waro' dalam pengertian umum didalam masyarakat.
Adapun yang dimaksudkan “Waro’” disini, didalam pembahasan kita ini adalah kan dari thomak. Atau dalam istilah lain dapat dikatakan yaitu bahwa yang dimaksuk “Waro”  adalab TAUHJD lah mudahnya. Melulu hanya kepada Tuhan semata-mata. Tidak menjadikannya acara selainnya Tuhan.
Tetapi sekalipun begitu, waro’ dalam pengertian umum seperti yang sudah kita bahas disini tadi, baik juga diterapkan. Yaitu secara ringkas menghindari atau menjauhi  perkara halal karena takut terjatuh kedalam akibat maksiat atau atau kedalam perkara  haram. Itu baik dilakukan. Didalam Wahidiyah sebagai dasarnya ialah “mengisi segala  bidang”. Bukannya hanya bidang Tauhid saja yang harus kita isi ,melainkan segala bidang harus kita isi!.
Saya teringat sabdanya Bakdus Salaf, yang minggu yang lalu insya Alloh sudah saya utarakan. Kurang lebih redaksinya saya ulangi lagi: اِنَّ اللهَ تَعَالَى خَبَاءَ ثَلاَثَةَ اَشْيَاءَ فِىْثَلاَثَةِ مَوَاضِعَ
 “INNALLOHA TA’ALA KHOBBA-ATSALAATSATA ASY-YAA-A FII TSALAATSATI  MAWAADLI’A”.
Alloh SWT merahasiakan tiga perkara didalam tiga tempat.
خَبَاءَ رِضَاهُ فِىْطَاعَتِهِ
KHOBA-A RIDLOOHU FII THOO’ATIHI.
Satu, Alloh Ta’ala merahasiakan ridlo-NYA didalam Tho’at kepada-NYA.
فَلاَ تَسْتَقِلَّ طَاعَةً
FALAA TASTAQILLATHOO’ATIHI !. Maka dari itu jangan sekali-kali menganggap remeh kepada tho’at sekalipun betapa kecilnya. Sebab mungkin, sekalipun tho’at itu tho’at sunnah atau tho’at yang paling ringan, mungkin sekali menentukan. Seperti saya sudah kemukakan minggu yang lalu, yaitu Imam Ghozali membiarkan seekor lalat meminum tinta diujung penanya ketika beliau mengarang. Ah, saya hentikan dulu menulis, rupanya ada lalat yang sedang haus. Biarlah dia puas meminum dulu. Kata Imam Ghozali.
مَنْ َنَعَ حَاجَةً مِنْ خَلْقِهِ مَنَعَهُ اللهُ حَاجَتَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (الحديث)
MAN MANA’A HAAJATAN MIN KHOQIHI MANA’AHULLOHU HAAJATAHU YAUMAL-QIYAAMATI. (Al Hadits)
Barang siapa yang mencegah hajatnya dari makhluq Tuhan, maka Alloh mencegah hajadnya besok pada yaumul qiyaamah. Hajad pada yaumul qiyaamah adalah selamat. Jika dicegah, menjadi tidak selamat.
Maka sekalipun soal remeh, harus tidak boleh kita sia-siakan !.
اَلْحُكْمُ يَدُوْرُمَعَ اْلعِـلَّةِ
AL HUKMU YADUURU MA’AL-‘ILLAT”
Hukum, terutama hukum fiqih, atau tergantung pada ‘illatnya. Dasar atau sebab musabbabnya. WUJUUDAN WA ‘ADAMAN - ada atau tidaknya. Sesuatu haram, atau suul adab, ini sebab ‘illatnya, sebab dasarnya. Seperti pengajian ini tadi, merasa tidak tepat dsbnya, ini melihat ‘illatnya atau dasarnya. Apa dasarnya seseorang merasa berlarut-larut. Jika dasarnya karena diperintah, LILLAH, ini yang baik. Tapi jika dasarnya tidak LILLAH - diperintah, atau tidak ada dasarnya, ini tetap terkecam !. Jadi qo’idah diatas, yang asalnya adalah qo’idah Ushul-Fiqih, tapi dapat dipakai untuk umum sebagai pedoman mengambil keputusan. “AL HUKMU YADUURU MA’AL ‘ILLAT”Hukum, harus berdasarkan ‘illat atau alasan. Boleh atau tidaknya, apa alasannya. “WUJUUDAN WA ‘ADAMAN” Kalau perlu lalat ya harus dibunuh, sebab menjadi penyebar kuman-kuman penyakit misalnya. Tapi pada ketika lain ya harus ditolong, seperti yang dilakukan oleh Imam Ghozali. Alasannya, kasihan lalat itu sedang haus. Suatu contoh lain misalnya, yaitu, ya maaf, yaitu soal membaca. Membaca harus cocok dengan tajwidnya. Alasannya yaitu, qo’idah tajwid. Tetapi ada kecualinya. Yaitu tidak bisa khusyu’ kalau trep seperti tajwid. Yang begini insya Alloh dimaaf. “LIYATHMA-INNAL QULUUB” - untuk supaya hati lebih khusyuu’, lebih madep dsb. Tapi kalau hanya buat kesenangan-kesenangan lagu saja, jika perlu ini terkecam.
Saya ulangi lagi yaitu :   “INNALLOHA KHOBBA-A TSALAATSATA ASYYAA-A Fll TSALAATSATI MAWAADLI’A”
Alloh Ta’ala merahasiakan tiga perkara didalam tiga tempat. “KHOBBA-A RIDLOOHU FII THOO’ATIHI”. Satu, merahasiakan ridlo-NYA didalam tho’at kepada-NYA. “FALAA TASTAQILLA THOO ‘ATAN” !. Maka jangan menganggap remeh kepada tho’at sekalipun tho’at yang kecil!. “WA KHOBBA-A GHODLOBA HU FII MA’SHIYATIHI”. Dan Alloh merahasiakan bendunya didalam maksiat kepada-NYA. “FALAA TASTAHQIR MA’SHIYATAN” !. Maka dari itu jangan menghina atau menganggap enteng pada maksiyat!.
Dus pokoknya yang penting kita harus senantiasa mengoreksi kepada pribadi dalam segala bidang !.
Umpamanya, maaf, dalam mujahadah. Mestinya ketika kita mujahadah bersama sebagai makmum, membaca kita harus lebih rendah lebih pelan dari bacaan imam. Dan kedua, membacanya tidak boleh mendahului bacaan imam. Ini perlu kita perhatikan. Sebab ini soal adab !. Apa yang difirmankan didalam Qur’an itu tidak hanya untuk Kanjeng Nabi saw saja. Segala imam agama, segala imam ibadah, itu menurut contohnya. Rosululloh saw adalah suatu contoh. Harus diikut.
يَآأآَيُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْالاَتَرْفَعُوْآأَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلاَتَجْهَرُوْالَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالَكُمْ وَاَنْتُمْ لاَتَشْعُرُوْنَ(الحجرات ٢)
“YAAAYYUHAL-LADZIINAAAMANUU LAATARFA’UU ASHWAATAKUM FAOQO SHOUTIN-NABIYYI WALAATAJHARUU LAHU BILQOULI KAJAHRI BA’DLIKUM LIBA’DLIN AN TAHBATHO A’MAALUKUM WA ANTUM LAA TASY’URUUNA” (49 - Al - Hujuroot 2)
(Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi dari suara Nabi, dan janganlah kamu bersuara keras terhadap KepadaNya seperti kerasnya suaramu antara satu terhadap yang lain. Jangan-jangan amal-amalmu sekalian terhapus dan kamu tidak merasa !.)
Ayat tersebut sekalipun ditujukan kepada Kanjeng nabi saw, tapi merupakan juga sebagai tuntutan. Ketika kita makmum mujahadah, lebih-lebih makmum dalam sembahyang, seperti dijelaskan didalam hukum fiqih, makmum jangan mendahului imam !. Harus dibelakang imam bacaannya, dan suaranya pun harus lebih rendah dari suara imam !. Lha ini kita harus meningkatkan dalam segala bidang sekalipun soal emyeh soal yang ringan.
“WA KHOBBA-A WILAAYATAHU FII QULUUBIAULIYAA ‘IHI”. Dan merahasiakan kewalian-NYA didalam hati para Wali atau orang-orang yang kasihi oleh Alloh SWT.
فَلاَتَشَتَحْقِرْ اَحَدًا
“FALAA TASTAHQIR AHADAN”. Karena itu jangan sekali-kali menghina atau meremehkan seseorang sekalipun bagaimana keadaan orang itu !. Inilah hubungannya dengan keharusan supaya kita senantiasa “HUSNU-DZHON” - menyangka baik!. Kepada orang lain kita harus husnu-dzon. Lebih-lebih terhadap Alloh SWT kita harus husnu dzhon !. Bahkan husnul-yaqiin terhadap Alloh SWT wa Rosuulihi saw!. Berkeyakinan baik !. Jika kita melihat orang lain menyeleweng misalnya, yang kita pandang tidak baik ya hanya penyelewengannya saja, jangan keseluruhan !. Sebab mungkin seseorang melakukan suatu pelanggaran, tapi sesungguhnya dia ada maksud-maksud baik. Terutama hatinya. Itu mungkin. Hatinya baik. Hatinya tidak takabur umpamanya. Atau hatinya sadar kepada Alloh SWT. Jadi yang kita pandang yang negatif saja. Tidak keseluruhan bidang secara mutlak !.”WA KHOBBA-WILAAYATAHU FII QULUUBI AULIYAAIHI.  Dan Alloh Ta’ala merahasiakan kewalian – kewalian-NYAdidalam hatinya para Kekasih-NYA.
Yang dimaksud Wali Alloh menurut qo’idahnya yaitu :
“MAN TAWAALAT THOO’ATUHU”. Orang yang terus-terusan tho’at kepada Alloh. Hatinya terutama yang dimaksud. Adapun tho’at lahir, mudah diketahui. Wah itu orang sembahyangnya, ngajinya, mujahadahnya mempeng sekali. Kalau begitu, wah itu Wali. Jangan tergesa-gesa menyebut dengan titel Wali kalau hanya melihat aktifitas ‘ubudiyah lahir saja. Bagaimana batinnya, itu yang harus diuji bersih tidaknya.
Misalnya kita melihat kawan berbuat negatif. Yah, negatif bidang itu. Tapi bidang lain harus ditinjau !. Disamping itu engkau sendiri bagaimana ?. Mengatakan orang lain negatif, berarti merasa dirinya sendiri tidak negatif. Ini berarti takkabur ini!. Ya maaf!.
Jadi kalau mengadakan amar makruf nahi munkar ya harus menurut caranya amar makruf nahi munkar yang baik. Dan, kita harus membatasi pada bidang munkar atau bidang yang negatif saja !. Bidang-bidang lain harus diperhitungkan atau dipertimbangkan!. Mungkin satu bidang dia negatif, tapi dalam bidang lainnya positif atau mungkin bahkan lebih baik dari yang menuduh misalnya. Lebih teliti lagi jika kita gantungkan pada kemungkinan-kemungkinan yang akan datang dari Tuhan. Mungkin sekarang kelihatan jelek, tapi akhirnya husnul khotimah. Sekarang kelihatannya baik, tapi mungkin akhirnya mengalami suul khotimah. Ini mungkin !.
Ya mudah-mudahan para hadirin hadirot, pengajian pagi ini menjadi sebabnya diridloi Alloh wa Rosuulihi saw, membuahkan manfaat yang sebesar-besamya, manfaat fiddiini wad-dunya wal akhiroh !. Amiin !. Kiranya pengajian kita cukupkan sekian, dan sekarang waktu dan tempat dipersilahkan sambutan dari Penyiar Pusat. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar