بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
( قَطَعَ السـَّائِرِيْنَ لَهُ وَالْوَاصِلِيْنَ اِلَيْهِ عَنْ
رُؤْيَةِ اَعْمَالِهِمْ وَشُهُوْدِ اَحْوَالِهِمْ )
BISMILLAAHIR
ROHMAANIR ROHIM.
“QOTHO’
AS-SAAIRIINA LAHU WAL WAASHILIINA ILAIHI ‘AN
RUKYATI A’MAALIHIM
WA SYUHUUDI AHWAALIHIM”.
Setengah dari pada fadlolnya Alloh SWT, Alloh SWT menutupi atau mencegah
orang-orang yang “Saairiina” berjalan menuju kepada Alloh SWT dengan
mengamalkan segala perbuatan-perbuatan yang diridloi Alloh SWT, Menjauhi
larangan-larangan atau soal-soal yang bermanfaat bagi ummat dan masyarakat,
menjauhi perbuatan-perbuatan yang merugikan pada ummat dan masyarakat,
“Wai waashiliina” orang-orang yang sudah wushul, sudah sampai, sudah sadar
kepada Alloh SWT, dua kelompok tersebut mendapat fadlolnya Alloh Ta’ala berupa
tidak mengandalkan atau menjagakan amalannya. Tidak mengandalkan
amalnya atau gerak gerik hatinya. Baik amal lahiriyah maupun batiniah.
“Ahwaa!” adalah amal batiniyah. “An rukyati a’maalihim”, tidak melihat atau
mengandalkan amal lahir. “Wa syhuudi ahwaalihim", tidak mengandalkan gerak gerik
atau amal batin seperti ridhonya, ikhlasnya, tawakkalnya dan sebagainya.
Hanya ingat dan mengandalkan kepada Alloh SWT wa Rosuulihi saw.
Tapi caranya Alloh Ta’ala menyelamatkan dua kelompok tersebut berlain-lainan, tidak
sama satu sama lain.
اَمَّا
السَّائِرُوْنَ فَِلاَنَّهُمْ لَمْ يَتَحَقَّقُوْا الصِّدْقَ مَعَ اللهِ فِيْهَا
“AMMAS-SAAIRUUNA
FALIANNAHUM LAM YATAHAQQOQUUS-SHIDQO
MA’ALLOHI
FIIHA”
Adapun mereka
kaum “saairiina”, mereka yang sedang dalam perjalanan menuju kepada Alloh
wa Rosiilihi saw, mereka merasa tidak dapat melaksanakan amal- amal ibadah
kepada Alloh dengan tepat yang sesungguh sungguhnya tepat, yang
semestinya. Artinya mereka tidak merasa bisa beramal. Istilah Wahidiyah BILLAH
mudahnya.
Mereka
merasa masih kurang ikhlas didalam amal-amal ibadahnya. Kurang tepat. Sekalipun
sudah ikhlas, mereka merasa masih kurang ikhlas. Dan rasa kurang ikhlas atau kurang tepat itupun tidak dijagakan.
Itulah setengah dari pada fadhol perlindungan Alloh SWT
kepada orang-orang yang belum sadar kepada-NYA tetapi sedang dalam
perjalanan menuju kepada Alloh SWT. ”Saairuuna” Orang yang tidak mendapat
fadholnya Alloh SWT mungkin lalu ujub dan mengandalkan amalnya. Tapi yang mendapat fadholnya
Alloh SWT, sekalipun belum sadar, merasa bahwa ibadahnya masih tidak karu-karuan. Oleh
karena itu dia tidak menjagakan amalnya. Apanya yang dijagakan?. Melainkan
hanya menjagakan Tuhan semata-mata.
وَاَمَّا
الْوَاصِلُوْنَ فَِلاَنَّّهُ غَيَّبَهُمْ بِشُهُوْدِهِ عَنْهَا
“WAAMMAL WAASHILUUNA
FALIANNAHU GHOYYABAHUM BISYUHUUDIHI ANHAA”
Adapun fadholnya
Alloh SWT yang diberikan kepada “waashiluuna”, orang yang sudah sadar
kepada Alloh, yaitu mereka ditutupi sehingga mereka tidak merasa bahwa dirinya
bisa beramal. Dan mereka berkeyakinan kepada soal-soal yang sesungguhnya.
Yaitu bahwa amal-amal perbuatannya itu bukan kehendak sendiri, melainkan
fadlol dari Alloh SWT . Diamalkan oleh Alloh. Digerakkan oleh Alloh untuk
beramal, dia tidak beramal. Oleh karena itu mereka tidak merasa dan tidak menjagakan
atau mengandalkan amalnya. Orang tidak beramal kok dijagakan, apa yang dijagakan ?. Milik orang lain
kok dijagakan, ini namanya tidak normal!. Kalau yang pertama tadi, “Saairuun”, dia merasa
amalnya tidak karu-karuan kok dijagakan ?.
Jadi fadlolnya Alloh Ta’ala yang diberikan kepada “saairuun” atau “muuriduun”
atau “saalikuun”, sama maksudnya, yaitu mereka diberi perasaan senantiasa
tidak ikhlas dalam amal-amal ibadahnya, merasa tidak tepat. Dengan sendirinya
karena perasaannya begitu, mereka tidak dijagakan. Tidak menjagakan amalnya.
Adapun yang
diberikan kepada orang yang sudah sadar, yaitu berupa perasaan bahwa : “aku
ini tidak beramal yang beramal itu haqiqotnya adalah Tuhan”
وَمَا
رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللهَ رَمَى ( الأنفال :١٧ )
“WAMAA
ROMAITA IDZ ROMAITA WALAKIN ALLOHA ROMAA” (Al Anfaal -17)
(Dan bukan engkau yang melepaskan
jemparing (memanah) ketika engkau -memanah,
melainkan Alloh yang memanah).
“.... Maka
jika aku mengandalkan amalku, ini tidak normal, janggal sekali. Tidak beramal
kok mengandalkan amalnya, sama saja dengan menjagakan angin.
إِلاَّ
اَنَّهُمْ فَعَلَ ذَلِكَ باِلسـَّالِكِيْنَ كُرْهًا وَبِالْوَاصِلِيْنَ طَوْعًا
...
Akan tetapi,
Alloh Ta’ala memaksa kepada golongan yang “saairiin”. Memaksa. Maksanya yaitu
merasa mereka tidak ikhlas. Jadi terpaksa. Karena terpaksa, maka tidak
bisa diandalkan. Sebab tidak ikhlas.
Yang golongan
“waasiluun” tadi tidak paksaan melainkan benar-benar menyadari bahwa dirinya
tidak beramal. Tidak mencangkul kok minta bayaran, mana boleh
jadi ?. Kelihatannya bekerja itu karena digerakkan kalau tidak digerakkan ya
tidak bisa bekerja. Lha ini namanya betul-betul sadar, tidak paksaan.
وَلاَ
شَكَّ أَنَّ هَذَا الْمَقَامَ أَرْقَى مِنَ اْلاَوَّلِ
Dan tidak
mamang lagi, bahwa orang-orang yang sudah sadar, “waashiluun” adalah jauh
lebih tinggi tingkatannya ‘indallohi daripada orang yang belum sadar.
Dalam bidang tadzallul, yaitu merasa morat marit amalnya, tidak tepat, ini sudah
baik. Sawahku dimakan wereng, apa yang saya andalkan ?. Bidang merasa
dirinya senantiasa kurang, ini sudah baik. Tetapi dalam bidang kesadaran, dengan
sendirinya perasaan “waashiluun”, orang-orang yang sudah sadar tadi, yaitu tidak
merasa beramal, ini lebih tinggi ‘indaliohi dari yang pertama. Inilah antara lain
yang dimaksud oleh kata-kata :
اِذَا
حَفَّتْ الْعِنَا يَةُ اْلاِلَهِيَّةُ عَبْدًا صَارَتْ ذَرَّةٌ مِنْ عُمْرِهِ
تُقَاوِمُ عِبَادَةَ اَلْفَ سَنَةٍ
“IDZAA
HAFFATIL – ‘INAAYATUL - ILAHIYYAH ‘ABADAN SHOOROT DZARROTUN MIN ‘UMRIHI TUQOOWIMU ‘IBAADATI ALFA SANAH”
(Jika
seseorang mendapat fadlol dari Alloh SWT, maka setiap detik dari detik-detik
umurnya, “tuqoowimu ‘ibaadati alfa sanah” - bandingi ibadah seribu tahun). Kalau perlu
bahkan lebih dari itu!. Banyak insya Alloh kata-kata seperti itu terdapat didalam Buku
Kuliah Wahidiyah.
Betapa keistimewaannya orang yang sadar kepada Alloh SWT !. Sebaliknya
betapa kerugiannya orang yang tidak sadar kepada Alloh SWT !. Banyak soal-soal ini sudah dibahas
didalam Buku Kuliah Wahidiyah !. Dan Alhamdu
Lillah sudah banyak yang kita ketahui!. Antara lain lagi yaitu sabdanya Syekh Abil Hasan Asy-Syadzili:
مَنْ لَمْ
يَتَغَلْغَلْ فِىْ عِلْمِنَا هَذَاكَانَ مُسِرًّا عَلَى اْلكَبَائِرِ وَاِنْ
عَمِلَ مَا عَمِلَ وَهُوَ لاَيَعْلَمُ
“MAN LAM YATAGHOLGHOL FII ’ILMINAA
HAADZA, KAANA MUSIRRON ‘ALAL KABAAIR WAIN ‘AMILA MAA ‘AMILA WAHUWALAA YA ‘LAMU”
(Barang siapa yang tidak
mengetrapkan ilmuku itu, maka dia tetap membawa dosa besar sekalipun betapa
banyaknya dia punya amal dan dia tidak mengerti atau tidak merasa bahwa
dirinya membawa dosa besar).
Begitulah
orang yang tidak atau belum sadar kepada Alloh SWT sekalipun ada
kebaikan-kebaikannya sedikit, tetapi masih banyak negatif-negatifnya yang merugikan bagi yang bersangkutan.
Seperti disini akan diterangkan :
وَلِهَذَا
لَمـَّا سَـأَلَ الْوَاسِطِىُّ اَصْحَابَ أَبِىْ عُثْمَانَ ؛ بِمَاذَا كَانَ
يَأْمُرُكُمْ شَيْخُكُمْ ؟ فَقَالُوْا يَأْمُرُنَا بِالْتِزَامِ الطَّاعَاتِ
وَرُؤْيَةِ التَّقْصِيْرِ فِيْهَا . فَقَالَ لَهُمْ ؛ أَمَرَكُمْ
بِالْمَجُوْسِيَّةِ الْمَحْضَةِ , هَلاَّ أَمَرَكُمْ بِالْغَيْبَةِ عَنْهَا
بِشُهُوْدِ مُنْشِئِهَا وَمُجْرِيْهَا ...
Ketika Syekh Wasithi bertanya
kepada murid-murid Syekh Abi ‘Usman dengan pertanyaan : “Bagaimana perintah
gurumu kepadamu sekalian”. Mereka menjawab “Kami diperintah supaya
senantiasa tekun menjalankan tho’at dan supaya senantiasa berlarut-larut
pepeko - banyak kesalahan-kesalahan, senantiasa tidak tepat, banyak yang
kami salahgunakan, tidak beradab. Maka berkata Syekh Wasithi kepada mereka :
“Kalau hanya begitu, gurumu
hanya memerintah kamu seperti orang-orang majusi saja. Berarti gurumu itu
menjerumuskan kamu semua, membikin kamu semua berbuat syirik. Kamu semua
dijlomprongkan kearah majusi. Mestinya yang baik yaitu diperintah Tho’at dan
menghilangkan rasa tho’at, sebab hanya beracara kepada Alloh SWT, sungguh-sungguh
syuhud, sadar, menyaksikan kepada yang menitahkan dan menggerakkan tho’at.
Jadi merasa
“taqshiir” merasa berlarut-larut, merasa tidak tepat, itu dalam
satu segi sudah baik. Tapi dari segi lain, adalah tidak tepat, tidak baik.
Tidak tepatnya yaitu kamaa qoola bakdluhum:
رُؤْيَةُ التَّقْصِيْرِ
لاَتَخْلُوْعَـنِ الشِّرْكِ فِىْالتَّقْدِيْرِ
“RUKYATUT-TAQSHIIR LAATAKHLU
‘ANISSYIRKI FIT-TAQDMR”.
(Merasa pepeko, merasa tidak
tepat, merasa berlarut-larut, itu tidak lepas dari syirik
didalam qodarnya Tuhan). Artinya, tidak ridlo kepada Alloh SWT. Yang membuat dia
begitu adalah Alloh SWT. Mengapa dia kok merasa menyesal ?. Berarti tidak ridlo
kepada Alloh SWT !. Pada hal “Khoirihi wa syarrihi minalloh” baik dan buruk itu
dari Alloh juga datangnya. Sekalipun buruk, jika disesali, itu berarti
menyesal kepada Alloh!. Tidak mau puas
kepada Qodar dan rencana Alloh !. Ini negatifnya.
Lalu
bagaimana ?. Ya kita harus menyesal atas keburukan-keburukan diri kita, tapi
menyesal kita itu harus didasari LILLAH BILLAH !. Diperintah oleh Alloh.
Diperintah !. Dan menyesal kita itu Alloh yang menggerakkan kita bisa menyesal!.
BILLAH !. Dengan demikian, kita menjadi selamat dari negatif-negatif seperti
yang kita bahas ini tadi. Apabila menyesalnya merasa senantiasa berlarut-larut
senantiasa tidak tepat, senantiasa suul adab dan sebagainya, hanya begitu saja. Tidak
disertai LILLAH BILLAH, menyesal seperti itu adalah LINNAFSI BNNAFSI!.
Otomatis !. Kalau begitu, dapatkah kamu berbuat ibadah tidak tepat area
digerakkan Tuhan ?. Ibadah yang tepat tidak bisa, tetapi ibadah yang tidak tepat kok
bisa, ini berarti syirik ini!.
Maka
disamping memperbaiki dan terus usaha memperbaiki ibadah lahiriyah, yang
paling pokok adalah hati. Hati harus benar-benar dapat mengetrapkan
dengan setepat-tepatnya !. Yah, dalam Wahidiyah sering diutarakan oleh
antara lain Bapak K. Zainal, ibarat ban luar dan ban dalam. Ban luar ada lobang
sebesar lidi tidak apa-apa, tapi kalau ban dalam, jangankan lobang
sebesar lidi, lobang seujung jarumpun sudah tidak bisa dipakai !. Tapi kita ya harus
normal, ban luar harus baik, ban dalam pun harus utuh pula, jangan ada yang bocor sebesar rambut sekalipun !.
يَوْمَ لاَيَنْفَعُ
مَالٌ وَلاَبَنُوْنَ اِلاَّ مَنْ اَتَىاللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ.(الشعرأ:٨٨-٨٩)
“YAUMA LAA YANFA’U
MAALUN WALAA BANUUN, ILLA MAN ATALLOHA BIQOLBIN SALIM” (As-Syu’aro - 88 - 89)
(Pada hari dimana harta dan anak atau anak buah tidak
berguna tidak bisa memberi manfaat, kecuali orang yang datang
kepada Alloh dengan hati yang selamat). Hati yang
selamat!. Selamat !. Selamat dari pada selainnya Alloh SWT.
Jadi kembali
lagi, kita harus merasa hina dina merasa berlarut-larut didalam ibadah-ibadah kita, tetapi
merasa kita demikian itu harus kita dasari LILLAH BILLAH !. Kita diperintah,
merasa berlarut-larut !. Diperintah supaya merasa tidak tepat, tidak beradab, senantiasa berlarut-larut !. Dan didalam kita
merasa tadi, harus LILLAH BILLAH, otomatis
termasuk yang dikecam oleh Syekh Wasithi diatas.
Jadi
maksudnya Syekh Wasithi tersebut adalah untuk meningkatkan murid- muridnya
Syekh Abi Usman sehingga mereka mencapai maqom sadar kepada Alloh SWT.
Tidak berarti menghina orang yang merasa apes, pepeko. Tapi yaitu selama ada
dasarnya LILLAH. Kalau tidak ada dasar LILLAH ya tetap terkecam !.
مَابَسَقَتْ اَغْصَانُ
ذُلٍّ اِلاَّ عَلَىبَدْرِطَمَعٍ
“MAA BASAQOT AGHSHOONU DZULLIN ILLA “ALA
BADZRI THOMA’IN” (Tidak dapatlah cabang dan rantingnya hina menjadi
bertambah kecuali yang tumbuh diatas bibitnya thomak).
Jadi hina digambarkan
suatu pohon atau tetumbuhan, dan thomak digambar sebagai bibitnya. Jelasnya hina itu bibitnya adalah thomak. Mengharap-
harap atau menjagakan. Barang siapa thomak otomatis kuat, rasa hina pun menjadi
makin besar.
Jadi, thomak
atau menjagakan, adalah penyakit yang paling berbahaya!. Penyakit
‘ubudiyah!. Penyakit yang menghalang dan merusak kemurnian pengabdian
diri kepada Alloh SWT. Bahkan ini suatu syirik sekalipun syirik - syirik yang
samar-samar. Thomak, menjagakan. Menjagakan kepada orang lain, atau
menjagakan kepada dirinya sendiri sekalipun, menjagakan kepada kemampuannya
menjagakan kepada kelincahannya, menjagakan kepada keahliannya,
menjagakan kepada Mujahadahnya dan Iain-Iain pokok menjagakan
kepada selain Alloh, thomak namanya. Ini suatu racun yang berbahaya
sekali. ‘Ubudiyah atau pengabdian diri jika ada thomaknya menjagakan
kepada selain Tuhan, sudah, Waasalam !. Jangan diharapk!.
Syirik yang berbahaya sekali!.
اِنَّ اللهَ
لاَيَغْفِرُاَنْ يُشْرَكَ بِهِ (الآية)
“INNALLOHA
LAA YAGHFIRU AN-YUSYROKABIHI”. ‘Alloh sekali-kali tidak mengampuni jika
dipersyirikkan. Selama dia tidak bertobat dan merubah sikap!. Selama dia
tidak merobah sikap dan bertobat, tidak diberi maaf!.
Adanya menjagakan kepada selain
Tuhan, itu berarti dia keyat bahwa dijagakan
itu mampu, padahal yang mampu hanya Alloh SWT. Jadi kalau orang thomak
menjagakan seperti itu, otomatis menjadi hina, Hinanya yaitu syirik Terbalik sama sekali !. Semestinya dia sebagai
hamba yang apes dlo'if hanya menghambakan
diri kepada Tuhan !. Hanya Tuhanlah yang mempunyai sifat Maha Kuasa, Maha Tahu, Maka Kaya, Maha.... Maha.... Maha
!. Mengapa kok orang kok menjagakan selain Tuhan ?. Ini terbalik !. Dijagakan
berarti dianggap Tuhannya, yang dapat melaksanakan atau memberi apa
kebutuhannya
لَقَدْخَلَقْنَااْلاِنْسَانَ
فِىْاَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ ثُمَّ رَدَدْنَاهُ اَسْفَلَ سَفِلِيْنَ (التين:٢-٥)
“LAQOD KHOLAQNAL-INSAANA Fll AHSANI
TAQWIIM TSUMMA RODADNAAHUM
ASFALA SAAFILIN” (At-Tlin : 4 - 5)
(Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Kemudian kami jungkir balikkan sehingga menjadi asornya-asor)
اِلاّالَّذِيْنَ
اَمَنُواْوَعَمِلُواالصَّلِحَتِ فَلَهُمْ اَجْرٌ غَيْرًمَمْنُوْنٍ (التين:٩)
“ILLALLADZIINA
AAMANUU WA’AMILUSSHOOLIHAATI FALAHUM AJRUN GHOIRU MAMNUUN”
(Kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh maka bagi nereka
itulah pahala yang tiada putus-putusnya).
Sungguh-sungguh
iman, sungguh-sungguh yakin hanya Alloh yang Maha Kuasa.’Wa
'amilus-shoolihaat” - dan beramal sholeh, melaksanakan 'ubudiyah, Pengabdian diri kepada Alloh SWT !.
Para hadirin hadirot, ini perlu adanya koreksi kepada
pribadi masing-masing !. Kita pernah menjagakan kepada selain Tuhan atau
tidak ?. Menjagakan kepada selain Tuhan, otomatis yang dijagakan itu dianggap
dapat memenuhi kebutuhannya!. Sawahnya, ladangnya, tokonya, pasarnya,
kantornya, usahanya, keahliannya, ilmunya, teori-teorinya dan Iain-Iain !.
Mari kita koreksi keadaan kita masing-masing !. Jika demikian halnya para hadirin
hadirot, kita harus cepat-cepat bertobat !. Jika kita tidak tobat, tidak
merubah sikap, yah sekalipun umpamanya karena banyaknya amal-amal kita, kita
lalu masuk surga, tapi itu tidak semestinya !. Tetap terkecam !. Serupa saja
dengan hewan, bahkan lebih -lendah dari hewan atau binatang !. Karuan kalau
hewan atau binatang tidak memang tidak punya fikiran. Ingin makan, makan
ingin melakukan sex, sex dstnya. jadi kalau kita manusia diberi
karunia akal fikiran, sekalipun dimasukkan surga kok hanya seperti itu, namanya
serupa saja dengan hewan !. Sekalipun bagaimana indahnya, dengan segala
kemewahan dan keindahan sorga, dengan bidadarinya, dengan makanan-makanan
dan minuman-minuman, kalau hanya seperti itu saja, itu tidak beda dengan hewan
!.
Padahal kita manusia didudukkan oleh Alloh SWT pada
tingkatan yang jaauh lebih dari pada itu !.Ini
namanya kita mengikuti kehendak Alloh SWT !. Tidak menghargai penghormatan Alloh SWT kepada kita
manusia !.. Mau bikin keinginan dan kehendak
sendiri!.
Para hadirin hadirot, mari para hadirin hadirot, kita
mampu, kita diberi kemampuan !. Sekalipun bisa selamat, tapi jika tidak
sesuai tidak nyocoki dengan kehendak dari yang punya, yang kompeten, ini
berarti masih menyalahi yang besaar sekali !.Taruhlah
sebagai gambaran misalnya saya mau bertamu kepadasaudara. Saudara hormati dengan segala kemewahan hidangan
yang indah-indah. Tapi
saudara tidak menaruh rasa puas kepada saya. Tentulah saya tidak segembira
kepuasan dan keramahan saudara.
Sekalipun tanpa suguhan hidangan yang mewah-mewah, asal
saudara temui
saya dengan segala keramahan dan kepuasan, tentulah lebih menyenangkan
dari pada banyak
hidangan yang mewah-mewah tapi, tuan rumahnya tidak
menemui tidak puas terhadap tamunya.
Begitu juga para hadirin hadirot, kita manusia ini
diangkat oleh Alloh, Tuhan kita, didudukkan ditempat yang sangat mulia disisi
Tuhan, asal kita mau. Tapi sayang , sebagian orang merasa puas hanya dengan
keindahan sorga saja. Puas menjadi seperti binatang belaka. Ingin minum, minum,
ingin makan, makan, nafsu sex, sex dan sebagainya!. Dalam lahiriyah kelihatan
aktif, senantiasa tho'at, sembahyangnya aktif, berjamaah aktif, mujahadah
aktif, memberi pengajian-pengajian aktif, amal-amal sosial giat, tapi
sayang, soal yang pokok yaitu kesadaran kepada Alloh wa Rosuulihi saw tidak
dijadikan acara yang paling aham. Bahkan aktifitas dan
kegiatan-kegiatannya itu tadi justru hanya untuk ingin menduduki
martabat kesenangan-kesenangan seperti yang dialami oleh hewan-hewan atau
binatang. Hanya kepuasan lahir jasmani saja.
Mari para hadirin hadirot kita tingkatkan 'ubudiyah kita
kepada Alloh SWT !. Mari kita merobah sikap, jangan terus menerus
thomak kepada selain Alloh !. Alloh Kita diberi kemampuan untuk itu, para
hadirin hadirot!.
Disini
dikatakan:
فَالطَّمَعُ مِنْ
أَعْظَمُ الْعُيُوْبِ اْلقَادِحَةِ فِىْاْلعُبُوْدِيَّةِ بَلْ هُوَ أَصْلُ
جَمِيْعِ اْلاَفَاتِ
Maka thomak
adalah merupakan cacat yang paling besar yang merusak dan memusnahkan
‘ubudiyah. Bahkan ia adalah sumber dari segala afaat bencana !. Sebab yaitu
tadi, hubungannya hanya kepada manusia. Adapun sebabnya yaitu syak atau
ringkihnya iman.
Para hadirin hadirot, kita mampu untuk mengukuhkan iman, untuk menguatkan
tauhid !. Ya mudah-mudahan para hadirin hadirot, kita dikaruniai keyakinan yang membaja, yang tidak
luntur kena sinar matahari dan tidak melengkung
kena panas, tidak lapuk kena hujan !. Amiin !.
Pada suatu ketika Sayyidinaa ‘Ali Ibnu Abi Tholib rodliyallohu “anhu semasa
beliau menjadi Kholifah mendatangi ke Masjid Basrah menemui para pembicara
yang berada di Masjid tersebut. Para pembicara itu diusir dilarang berbincang-bincang
disitu. Akhirnya ketemu Syekh Hasan Basri, yang waktu itu masih remaja.
Lalu ditanya oleh Sayyidinaa “Ali:
“Wahai anak muda, aku mau bertanya kepadamu tentang satu hal. Jika engkau tidak dapat
menjawabnya, harus pergi dari sini”.
‘Baik, saya
sedia”. Jawab pemuda Hasan Basri.
“Apa yang menjadi kunci yang menguasai Agama? .
“Wirdi”. Jawab Hasan Basri.
“Dan apa yang menjadi perusak agama”
Tanya Sayyidina ‘Ali lagi. Thomak”
Thomak”. Jawab Hasan Basri.
“Kalau begitu duduklah, teruskan !. Dan orang seperti engkau ini memang patut bercakap-cakap memberi petunjuk
kepada manusia”.
Demikian
Sayyidina ‘Ali.
“Waro”- waro’ adalah kebalikan dari thomak,
thomak yang menjagakan selainnya Alloh. Bukan hanya kepada manusia saja, tapi
pokoknya selain Tuhan. Ya sawahnya, ya majikannya, ya pasarnya, ya ilmunyaya
keahliannya, ya rencana-rencananya, ya tokonya, ya pekerjaannya dan sebagainya.
Ini thomak namanya !. mengharap atau menjagakan selainnya Alloh SWT. Soal
materiil atau moril.
“Waro” - yaitu
selamat dari menjagakan-menjagakan itu tadi, meninggalkan menjagakan kepada
selain Tuhan, sehingga hanya kepada Tuhan belaka mengarahkan harapan atau
keinginannya
Para hadirin hadirot!. Yang kita bahas ini tadi adalah
bidang TAUHID dan bidang Adab. Jadi yang dimaksud “Waro” sebagai kebalikan dari
“thomak” disini ialah
hanya menjagakan kepada Tuhan belaka. Thomak, menjagakan kepada selain Tuhan.
“Waro” ada bermacam-macam. Antara lain warok meninggalkan
barang yang syubhaat. Ini mungkin halal mungkin harom, ditinggalkan. Ini juga
waro’. Ragu-ragu, ditinggal. Ini Waro’. Waro’ meninggalkan barang yang syubhaat,
atau yang khilaaful aula yang kurang utama, atau yang makruh. Atau meninggalkan
barang yang halal karena takut kurang mambawa manfaat. Sekalipun ini halal
barang yang boleh, jangan-jangan nanti saya salah gunakan. Lalu
ditinggal. Itu juga Waro’.
تَرْكُ شَطْرِ
الْحَلاَلِ مَخَافَةً أَنْ يَقَعَ فِىْالْحَرَامِ اَوْفِىْالْمَعَاصِى
Meninggalkan perkara halal, meninggalkan hal-hal yang
boleh ditinggalkan, itu boleh saja. Oleh karena sekalipun itu
perkara halal atau perkara yang boleh
dilakukan, akan tetapi mungkin mengakibatkan hal-hal yang tidak semestinya. Maka ditinggalkan. Itu Waro’ namanya. Boleh saja.
Bahkan lebih baik ditinggalkan.
Ya, mudahnya “Waro” dalam pengertian umum, dalam
masyarakat, yang hal-hal syubaat atau campur. Campur antara haram dan
halal, campur antara boleh dan tidak boleh. Atau hal-hal yang masih ragu-ragu.
Meninggalkannya, itu Waro’ namanya. Atau, ya seperti itu tadi, sekalipun ini
halal, diperbolehkan, bukan maksiat tapi mungkin sekali aku tertarik atau
terpengaruh kesitu. Lalu ditinggalkan Waro’. Waro' dalam pengertian umum
didalam masyarakat.
Adapun yang dimaksudkan “Waro’” disini, didalam pembahasan kita ini adalah kan dari
thomak. Atau dalam istilah lain dapat dikatakan yaitu bahwa yang dimaksuk
“Waro” adalab TAUHJD lah mudahnya.
Melulu hanya kepada Tuhan semata-mata. Tidak menjadikannya acara
selainnya Tuhan.
Tetapi sekalipun begitu, waro’ dalam pengertian umum
seperti yang sudah kita bahas disini
tadi, baik juga diterapkan. Yaitu secara ringkas menghindari atau menjauhi perkara halal karena takut terjatuh kedalam akibat maksiat atau atau kedalam
perkara haram. Itu baik
dilakukan. Didalam Wahidiyah sebagai dasarnya ialah “mengisi segala bidang”. Bukannya hanya bidang Tauhid saja
yang harus kita isi ,melainkan segala bidang
harus kita isi!.
Saya teringat sabdanya
Bakdus Salaf, yang minggu yang lalu insya Alloh sudah saya utarakan. Kurang lebih
redaksinya saya ulangi lagi: اِنَّ اللهَ تَعَالَى
خَبَاءَ ثَلاَثَةَ اَشْيَاءَ فِىْثَلاَثَةِ مَوَاضِعَ
“INNALLOHA TA’ALA KHOBBA-ATSALAATSATA
ASY-YAA-A FII TSALAATSATI MAWAADLI’A”.
Alloh SWT merahasiakan tiga perkara didalam tiga tempat.
خَبَاءَ رِضَاهُ
فِىْطَاعَتِهِ
KHOBA-A RIDLOOHU FII THOO’ATIHI.
Satu, Alloh
Ta’ala merahasiakan ridlo-NYA didalam Tho’at kepada-NYA.
فَلاَ تَسْتَقِلَّ
طَاعَةً
FALAA
TASTAQILLATHOO’ATIHI !. Maka dari itu jangan sekali-kali menganggap remeh kepada
tho’at sekalipun betapa kecilnya. Sebab mungkin, sekalipun tho’at itu tho’at
sunnah atau tho’at yang paling ringan, mungkin sekali menentukan. Seperti saya
sudah kemukakan minggu yang lalu, yaitu Imam Ghozali membiarkan seekor lalat
meminum tinta diujung penanya ketika beliau mengarang. Ah, saya hentikan
dulu menulis, rupanya ada lalat yang sedang haus. Biarlah dia puas meminum dulu.
Kata Imam Ghozali.
مَنْ َنَعَ حَاجَةً
مِنْ خَلْقِهِ مَنَعَهُ اللهُ حَاجَتَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (الحديث)
“MAN MANA’A HAAJATAN MIN KHOQIHI MANA’AHULLOHU HAAJATAHU YAUMAL-QIYAAMATI.
(Al Hadits)
Barang siapa
yang mencegah hajatnya dari makhluq Tuhan, maka Alloh mencegah
hajadnya besok pada yaumul qiyaamah. Hajad pada yaumul qiyaamah adalah
selamat. Jika dicegah, menjadi tidak selamat.
Maka sekalipun soal remeh, harus tidak boleh kita sia-siakan !.
اَلْحُكْمُ
يَدُوْرُمَعَ اْلعِـلَّةِ
“AL HUKMU YADUURU MA’AL-‘ILLAT”
Hukum, terutama
hukum fiqih, atau tergantung pada ‘illatnya. Dasar atau sebab musabbabnya.
WUJUUDAN WA ‘ADAMAN - ada atau tidaknya. Sesuatu haram, atau suul
adab, ini sebab ‘illatnya, sebab dasarnya. Seperti pengajian ini tadi, merasa
tidak tepat dsbnya, ini melihat ‘illatnya atau dasarnya. Apa dasarnya seseorang
merasa berlarut-larut. Jika dasarnya karena diperintah, LILLAH, ini yang baik.
Tapi jika dasarnya tidak LILLAH - diperintah, atau tidak ada dasarnya, ini tetap
terkecam !. Jadi qo’idah diatas, yang asalnya adalah qo’idah Ushul-Fiqih, tapi
dapat dipakai untuk umum sebagai pedoman mengambil keputusan. “AL HUKMU
YADUURU MA’AL ‘ILLAT”Hukum, harus berdasarkan ‘illat atau alasan. Boleh atau
tidaknya, apa alasannya. “WUJUUDAN WA ‘ADAMAN” Kalau perlu lalat ya harus
dibunuh, sebab menjadi penyebar kuman-kuman penyakit misalnya. Tapi pada ketika
lain ya harus ditolong, seperti yang dilakukan oleh Imam Ghozali.
Alasannya, kasihan lalat itu sedang haus. Suatu contoh lain misalnya, yaitu, ya
maaf, yaitu soal membaca. Membaca harus cocok dengan tajwidnya. Alasannya
yaitu, qo’idah tajwid. Tetapi ada kecualinya. Yaitu tidak bisa khusyu’ kalau
trep seperti tajwid. Yang begini insya Alloh dimaaf. “LIYATHMA-INNAL
QULUUB” - untuk supaya hati lebih khusyuu’,
lebih madep dsb. Tapi kalau hanya buat kesenangan-kesenangan lagu saja, jika
perlu ini terkecam.
Saya ulangi lagi yaitu :
“INNALLOHA KHOBBA-A TSALAATSATA ASYYAA-A Fll TSALAATSATI MAWAADLI’A”
Alloh Ta’ala
merahasiakan tiga perkara didalam tiga tempat. “KHOBBA-A RIDLOOHU FII
THOO’ATIHI”. Satu, merahasiakan ridlo-NYA didalam tho’at kepada-NYA.
“FALAA TASTAQILLA THOO ‘ATAN” !. Maka jangan menganggap remeh kepada
tho’at sekalipun tho’at yang kecil!. “WA KHOBBA-A GHODLOBA HU FII
MA’SHIYATIHI”. Dan Alloh merahasiakan bendunya didalam maksiat kepada-NYA. “FALAA TASTAHQIR
MA’SHIYATAN” !. Maka dari itu jangan menghina
atau menganggap enteng pada maksiyat!.
Dus pokoknya yang penting kita harus senantiasa
mengoreksi kepada pribadi dalam segala bidang !.
Umpamanya,
maaf, dalam mujahadah. Mestinya ketika kita mujahadah bersama sebagai
makmum, membaca kita harus lebih rendah lebih pelan dari bacaan imam. Dan
kedua, membacanya tidak boleh mendahului bacaan imam. Ini perlu kita
perhatikan. Sebab ini soal adab !. Apa yang difirmankan didalam Qur’an itu
tidak hanya untuk Kanjeng Nabi saw saja. Segala imam agama, segala imam ibadah, itu
menurut contohnya. Rosululloh saw adalah suatu contoh. Harus diikut.
يَآأآَيُّهَاالَّذِيْنَ
آمَنُوْالاَتَرْفَعُوْآأَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ
وَلاَتَجْهَرُوْالَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ
أَعْمَالَكُمْ وَاَنْتُمْ لاَتَشْعُرُوْنَ(الحجرات ٢)
“YAAAYYUHAL-LADZIINAAAMANUU LAATARFA’UU ASHWAATAKUM
FAOQO SHOUTIN-NABIYYI WALAATAJHARUU LAHU BILQOULI KAJAHRI BA’DLIKUM LIBA’DLIN AN
TAHBATHO A’MAALUKUM WA ANTUM LAA TASY’URUUNA” (49 - Al - Hujuroot 2)
(Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi dari suara
Nabi, dan janganlah kamu bersuara keras terhadap KepadaNya seperti kerasnya
suaramu antara satu terhadap yang lain. Jangan-jangan amal-amalmu sekalian
terhapus dan kamu tidak merasa !.)
Ayat tersebut sekalipun ditujukan kepada Kanjeng nabi
saw, tapi merupakan juga sebagai tuntutan. Ketika kita makmum mujahadah, lebih-lebih
makmum dalam sembahyang, seperti dijelaskan didalam hukum fiqih, makmum jangan
mendahului imam !. Harus dibelakang imam bacaannya, dan suaranya pun harus
lebih rendah dari suara imam !. Lha ini kita harus meningkatkan dalam segala
bidang sekalipun soal emyeh soal yang ringan.
“WA KHOBBA-A
WILAAYATAHU FII QULUUBIAULIYAA ‘IHI”. Dan merahasiakan kewalian-NYA
didalam hati para Wali atau orang-orang yang kasihi oleh Alloh SWT.
فَلاَتَشَتَحْقِرْ
اَحَدًا
“FALAA TASTAHQIR AHADAN”. Karena itu jangan sekali-kali menghina
atau meremehkan seseorang sekalipun bagaimana keadaan orang itu !. Inilah hubungannya
dengan keharusan supaya kita senantiasa “HUSNU-DZHON” - menyangka
baik!. Kepada orang lain kita harus husnu-dzon. Lebih-lebih terhadap Alloh SWT
kita harus husnu dzhon !. Bahkan husnul-yaqiin terhadap Alloh SWT wa Rosuulihi
saw!. Berkeyakinan baik !. Jika kita melihat orang lain menyeleweng misalnya,
yang kita pandang tidak baik ya hanya penyelewengannya saja, jangan keseluruhan
!. Sebab mungkin seseorang melakukan suatu pelanggaran, tapi sesungguhnya
dia ada maksud-maksud baik. Terutama hatinya. Itu mungkin. Hatinya
baik. Hatinya tidak takabur umpamanya. Atau hatinya sadar kepada Alloh SWT.
Jadi yang kita pandang yang negatif saja. Tidak keseluruhan bidang secara mutlak !.”WA
KHOBBA-WILAAYATAHU FII QULUUBI AULIYAAIHI.
Dan Alloh Ta’ala merahasiakan kewalian – kewalian-NYAdidalam
hatinya para Kekasih-NYA.
Yang dimaksud Wali Alloh menurut qo’idahnya yaitu :
“MAN TAWAALAT
THOO’ATUHU”. Orang yang terus-terusan tho’at kepada Alloh. Hatinya
terutama yang dimaksud. Adapun tho’at lahir, mudah diketahui. Wah itu orang
sembahyangnya, ngajinya, mujahadahnya mempeng sekali. Kalau begitu, wah itu
Wali. Jangan tergesa-gesa menyebut dengan titel Wali kalau hanya melihat
aktifitas ‘ubudiyah lahir saja. Bagaimana batinnya, itu yang harus diuji bersih
tidaknya.
Misalnya kita melihat kawan berbuat negatif. Yah, negatif
bidang itu. Tapi bidang lain harus ditinjau !. Disamping itu engkau
sendiri bagaimana ?. Mengatakan orang lain negatif, berarti merasa dirinya
sendiri tidak negatif. Ini berarti takkabur ini!. Ya maaf!.
Jadi kalau
mengadakan amar makruf nahi munkar ya harus menurut caranya amar makruf nahi
munkar yang baik. Dan, kita harus membatasi pada bidang munkar atau
bidang yang negatif saja !. Bidang-bidang lain harus diperhitungkan atau
dipertimbangkan!. Mungkin satu bidang dia negatif, tapi dalam bidang lainnya positif atau
mungkin bahkan lebih baik dari yang menuduh misalnya. Lebih teliti lagi jika kita
gantungkan pada kemungkinan-kemungkinan yang akan datang dari Tuhan.
Mungkin sekarang kelihatan jelek, tapi akhirnya husnul khotimah. Sekarang
kelihatannya baik, tapi mungkin akhirnya mengalami suul khotimah. Ini mungkin
!.
Ya mudah-mudahan para hadirin hadirot, pengajian pagi ini menjadi sebabnya
diridloi Alloh wa Rosuulihi saw, membuahkan manfaat yang sebesar-besamya,
manfaat fiddiini wad-dunya wal akhiroh !. Amiin !. Kiranya pengajian kita cukupkan
sekian, dan sekarang waktu dan tempat dipersilahkan sambutan dari Penyiar
Pusat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar