Perihal : Mujaddid.
Ø Keputusan :
Pada tiap menghadapi abad hijriyah, Allah SWT mengutus seseorang
dengan tugas memperbaiki urursan-urusan agama (Islam), yang disebut dalam
hadits Nabi di bawah ini.
وفى الخبر – أن الله يَبْعَثُ لهذه الأمة على رأس كل مائة
سنة من يجدد لها أمر دينه – (رواه أبو داود والحاكم وصححه البيهقى عن أبى هريرة)
Dan Mujaddid dalam melaksanakan tugasnya tidak ditentukan oleh
dalil-dalil nash maupun dalil furu’.
Dalam satu
qurun waktu Allah SWT kadang-kadang menurunkan atau mengutus seorang saja
Mujaddid, tetapi kadang-kadang lebih dari seorang.
Dalam hal lebih
dari seorang, biasanya tiap mujaddid bidang fiqih, yang lain bidang tauhid dan
tahqiq. Mujaddid yang mengemban bidang tauhid-tahqiq ini lazim disebut “Ghoutsu
Zaman”, yaitu ratunya para wali di qurun zaman itu.Dan ada juga seorang
Mujaddid yang sekaligus mengemban berbagai bidang (fiqih, tauhid-tahqiq
dirangkap sekaligus) seperti Imam Al Ghozali rodliyallahu ‘anh yang hidup pada
abad ke 5 hijriyah, yang sekaligus beliau juga sebagai Ghoutsu zaman di
zamannya. Demikian pula : Syaikh Abdulloh Muhammad bin Ali Baalawi Al Haddad
(Shohibu Ritibul Hadda) adalah Mujaddid yang merangkap sekaligus bidang fiqih
dan bidang tauhid-tahqiq (thoriqoh al ‘alawiyah), dan juga sebagai Ghtouts
zaman di zamannya.
Masih banyak contoh-contoh lain : di abad ke 6 hijriyah kita kenal
Fakhrurrozi, Rofii, bidang fiqih dan Syaikh Muhyiddin Ibnu Arobi, bidang
tauhid-tahqiq. Pada abad ke 11 kita kenal Syaikh Ahmad Ibnu Hajar dan Imam
Muhammad Romli, bidang fiqih serta Ahmad al Umari an Naqshobandi bidang tauhid
wa tahqiq atau bidang thoriqoh. Maka demikian itulah yang diterangkan dalam
kitab-kitab Ghoyatut Talkhish, Yawaqit dan Al Bahjatus Saniyah.
فى بغية المسترشدين – المراد بمن يجدد أمر الدين : من يقرر
الشرائع والأحكام لا المجاهد المطلق (بغية : 6-7).
وقد يكون المجدد اكثر من
واحد لأن لفظ من هنا للجمع لا للمفرد فتقول مثلا على رأس ثلاث مائة ابن سريج فى
الفقه والأشهرى فى الأصول والنسائى فى الحديث (سراج الطالبين ثانى : 5-6)
Tentang
Mujaddid atau Ghouts zaman
pada qurun waktu sekarang ini, yaitu qurun menjelang abad ke 14, baik buku-buku
ajaran Sholawat Wahidiyah maupun Muallif atau Pencipta Sholawat Wahidiyah
sendiri tidak pernah menunjukkan siapa orangnya yang menjadi Mujaddid tauhid.
Maupunmenurut keyakinan sebagian pengamal Sholawat Wahidiyah, Mujaddid atau
Ghouts Hadzaz Zaman (yang mengemban tugas bidang tauhid-tahqiq) adalah Muallif
atau Pencipta Sholawat Wahidiyah itu sendiri.Meskipun keyakinan ini hanya
timbul dari husnudhon saja, tetapi adalah husnudhon yang dilandasi dengan
dasar-dasar yang positif dan nyata.
Dasar-dasarnya
:
a.
Bahwa nama-nama para Mujaddid dari abad ke 1 sampai ke 12 hijriyah
yang tercantum dalam Ghoyatut Talkhis itu hanya berdasarkan husnudhin saja dan
bukan dari tahaqquq yang dibuktikan.
Misalnya : Imam Jalaluddin menyebut nama Mujaddid di abad ke 3
adalah “Fulan atau fulan”. Mujaddid di abad ke 4 adalah fulan au fulan dan
seterusnya.
Kata au (او) itumenunjukkan bukti bahwa ketetapannya itu
berdasarkan husnudhon saja.
b.
Bahwa Sholawat Wahidiyah dilahirkan dengan dilengkapi
ajaran-ajaran yang praktis untuk mengetrapkan ajaran Islam yang mencakup bidang
Syari’at dan haqiqot dengan menggunakan istilah LILLAH – BILLAH (لله – بالله)LIRROSUL – BIRROSUL (للرسول – بالرسول) dan LILGHOUTS – BILGHIUTS (للغوث – بالغوث).
Adapun teknik pengetrapan ajaran yang demikian itu belum
pernah ada dan belum pernah diajarkan oleh para ulama kepada khalayak umum,
sebelum lahirnya Sholawat Wahidiiyah.
Sebuah contoh mengenai syari’at–haqiqiot sebagai yang tercantum
dalam kitab syarah Atqiya’ :
الشريعة وجود الأعمال لله
والحقيقة شهود الأعمال بالله.
Tentang LILLAH :
Oleh Muallif
Sholawat Wahidiyah diterangkan, bahwa yang dimaksud dengan Lillah disini adalah
dalam melakukan perbuatan apa saja lahir maupun bathin baik yang berhubungan
langsung kepada Allah wa Rosulihi SAW maupun dalam hubungan kemasyarakatan
bahkan dalam hubungan dengan segala makhluk baik yang kedudukan hukumnya wajib,
sunnah ataupun mubah, sepanjang bukan
perbuatan yang dilarang oleh Allah dan
bukan pula perbuatan yang merugikan, maka melakukannya harus disadari atas niat
beribadah mengabdikan diri kepada Allah dengan ikhlas tanpa pamrih, dan
lebih-lebih pamrih materi. Pamrih dun-yawiyah maupun pamprih ukhrowiyah.
Seperti firman Allah :
وما أمروا إلاّ ليعبدوا
الله مخلصين له الدين (البينة : 25)
Sebab, apabila
tidak Lillah maka berarti li-Ghoirillah (karena atau untuk selain Allah) atau
lin-nafsi (karena mengikuti kemauan nafsu) dan pamrih apa saja sekalipun pamrih
berupa pahala atau akhirat akan menghilangkan keikhlasan yang bisa berakibat
ditolaknya amal.
قال صلى الله عليه وسلم :
إن الله لايقبل من العمل إلا ما كان خالصا وابتغى به وجهه (رواه النسائى عن أبى
أمامة بإسناد صحيح وحسن)
Bukan itu saja,
orang yang mengikuti kemauan nafsu sekalipun wajudnya seperti melakukan ibadah
sama halnya dengan “menyembah berhala”
فلا فرق بين ان يعبد الإنسان
نفسه وبين ان يعبد صنعا فهما عبد عبد غير الله (إحياء ثالث : 53)
وقال صلّى الله عليه وسلم
: أبغض إله عبد عند الله فى الأرض هو الهوى (رواه الطبرانى عن أبى أمامة)
إن موافقة هوى النفس طاعة
للشيطان (جامع الأصول ص : 158-159)
TENTANG BILLAH
:
Dalam segala
kehidupan kita, gerak-gerik kita, diam kita, perbuatan kita lahir maupun
bathin, dimanapun kita berada, kapanpun kita melakukannya, harus senantiasa
merasa dalam hati, bahwa yang menciptakan, yang menitahkan adalah Allah
Maha Pencipta, jangan sekali-kali mengaku atau merasa memiliki kemampuan
sendiri, selain dari Allah. Harus selalu Billah, harus merasa bi-haulillah wa
bi-quwatillah.
Semboyan لاحول ولاقوة إلا بالله tidak
cukup dibaca dan cuma dimengerti artinya saja, tetapi harus diamalkan menjadi
jiwa dan rasa di dalam hati. Menjiwai setiap perbuatan dengan Billah berarti sekaligus mengamalkan aqoi’id di dalam bathin.
Orang yang
tidak Billah otomatis bi-ghoirillah atau bin-nafsi, dan termasuk syirik khofi
(syirik dalam bathin, syirik i’tiqod) sebab berarti menyamakan dirinya dengan
Allah yang bersifat qiyamuhu binafisihi (قيامه
بنفسه)
Sedangkan yang
memiliki sifat-sifat
وجود بالنفس –
قديم بالنفس – بقاء بالنفس
Dan seterusnya (sifat 20)
Itu hanyalah Allah belaka.
Adapun segenap
makhluk dan kita manusia khususnya hanya memiliki sifat-sifat :
وجوده بالله, اى
بوجود الله, بإيجاد الله, بصره بالله, اى ببصر الله, عالمه بالله, اى بعلم الله
Apabila tidak
Billah, maka iman kita tidak bertauhid, berarti kita menyamakan diri dengan
Allah, berarti masih kecampuran syirik seperti tingkat iman kaum kafir
jahiliyah yang difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an :
$tBurß`ÏB÷sãƒNèdçŽsYò2r&«!$$Î/žwÎ)Nèdurtbqä.ÎŽô³•BÇÊÉÏÈ (يوسف : 106)
106. dan sebahagian besar dari mereka tidak
beriman kepada Allah, melainkan dalam Keadaan mempersekutukan Allah (dengan
sembahan-sembahan lain).
Menurut hukum
Islam iman yang sah adalah iman tauhid.Bukan iman sekedar “iman” saja, seperti
imannya orang jahiliyah dan umat manusia pada umumnya yang percaya bahwa dunia
ini ada yang menciptakan yaitu Allah Yang Maha Kuasa.
Di dalam Al-Qur’an Allah menjelaskan :
ولئن سألتهم من
خلق السموات والأرض وسخر الشمس والقمر ليقولنّ الله (العنكبوت)
(Demi Allah, apabila kaun kafir jahiliyah itu engkau tanya (Muhammad);
siapa yang menciptakan bumi dan langit dan yang menjalankan matahari dan bulan,
mereka menjawab : Allah !!).
Ayat ini
menunjukkan bahwa kafir jahiliyah diakui oleh Allah sebagai orang-orang yang
beriman (dalam artian percaya akan adanya Allah) juga, tetapi iman mereka tidak
diterima Allah karena tidak iman tauhid, tidak Billah)
Berdasarkan hal
itulah, para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah dengan tegas menyatakan bahwa
ma’rifat billah merupakan kewajiban pertama yang fardlu ‘ain harus diketahui
oleh setiap muslim.
وإيحاب المعرفة بالله معلوم فى دين الله, دين الإسلام, واما القول بوجود
الإيمان قبل المعرفة فباطل لأن التزام التصديق بما لاتعلم صحته يؤدى إلى
التسوية,(دسوقى : 60)
ان المعرفة بالله وطاعته واجبة بايجاب الله تعالى وشرعة لا بالعقل خلاف
للمعتزلة (احياء جز اول ص 89)
والجهل بالله
حرام والمعرفة بالله واجبة (جامع الأصول : 159)
c.
Jadi semua amal yang tidak disertai LILLAH – BILLAH
seperti yang diajarkan melalui Sholawat Wahidiyah, meskipun sudah memenuhi
syarat rukun lahir tetap tidak diterima oleh Allah seperti diterangkan di bawah
ini :
كل عمل لا اخلص فيه ليس بالله ولا لله مردود على صاحبه ومضروب به وجهه. وبهذا
يتبين لك غرور اكثر الخلق فى علومهم وأعمالهم إلا من رحمه الله (كذا فى شرح الحكام
لابن عباد – جز ثانى ص : 30)
KESIMPULAN :
Wajarlah bila
mana kita berhusnudhon bahwa Shohibul Wahidiyah sebagai Ghoutsu Hadzaz Zaman
(Ghouts di qurun zaman sekarang ini) karena ajaran yang dibawa selain bidang
syari’at, beliau lebih-lebih mengutamakan bidang ma’rifat.Sama halnya dengan
tanda-tanda yang dipakai oleh para ulama sebagai dasar menyakinkan identitas
seorang Ghouts yang terdapat pada kitab-kitab Tasawwuf.
إن حقيقة الصوفى فى فقيه عمل بعمله وغير فأورثه الله بعلمه الاطلاع على دقائق
الشريعة واسرارها حتى صار احدهم مجتهدا فى الطريق والاسرار – كما هو شأن الائمة
المجتهدون فى الفروع الشرعية (يواقيت ثانى ص : 92)
Salah satu
cirri atau tanda dari seorang Ghouts yang senantiasa memperjuangkan kebenaran,
tercermin dengan jelas dalam ajaran Wahidiyah mengajak umat masyarakat kembali
kepada Allah wa Rosulihi SAW secara konsekwen lahir bathin dengan rangkaian
do’a dalam Sholawat Wahidiyah :
ففروا إلى الله
Larilah kembali
kepada Allad
Yang dimaksud
dengando’a
“Fafirru ilallah” ففرّوا
إلى الله yang
diangkat dari firman Allah dalam Al-Qur’an itu adalah “kita sebagai pribadi,
kita sebagai keluarga, sebagai bangsa-bangsa Indonesia, bahkan sebagai
masyarakat umat manusia jami’al ‘alamin tanpa pandang bulu diajak atau dihimbau
untuk sadar dan kembali kepada Allah wa Rosulihi SAW dengan melepaskan diri
dari belenggu imperialism nafsu yang senantiasa menjeruskan kita dan sangat
dikecam oleh Allah wa Rosulihi SAW.
Demikian pula
bahwa Ghouts senantiasa memikirkan keadaan umat dan masyarakat termasuk di
dalamnya pribadi kita bangsa Indonesia dan jami’al ‘alamin bahkan segenap makhluk
Allah terbukti dengan ajaran Beliau dalam Sholawat Wahidiyah pula :
اللهم بارك فيما خلقت وهذه البلدة
Beliau selalu
bijaksana dalam memberikan tuntunan dan adil dalam memberikan keputusan. Dalam
memberi amanat atau fatwanya Beliau tidak pernah memihak, tidak pernah
menyinggung atau mencemoh pihak lain. Beliau senantiasa menyerukan persatuan
dan kesatuan, tolong menolong dan saling membantu disegala bidang. Mendahulukan
mana yang lebih penting dan lebih banyak manfaatnya bagi masyarakat :
تقديم الأهم فالأهم ثم الأنفع فالأنفع
Diajarkan pula
agar kita mengutamakan melaksanakan kewajiban dari pada menuntut hak:
يؤتى كل ذى حق حقه
Di dalam
berbakti kepada Allah mengikuti jejak dan bimbingan Rosulullah SAW, seorang
Ghouts mengerahkan segala kemampuan dan kekuatannya terutama kekuatan dan
kemampuan bathiniyahnya, bermunajat ke Hadirat Allah, memohon dan maghfiroh dan
pengampunan bagi jami’al ‘alamin pada umumnya. Dengan ketulusan hati yang jujur
dan ikhlas Beliau menyatakan di hadapan Allah wa Rosulihi SAW dengan :
“Yaa Allah,
demi kebesaran nama-Mu dan kemuliaan Nabi-Mu Shollallohu ‘alaihi wa sallam,
jika Engkau kehendaki, izinkan aku mengorbankan segala apa yang Engkau berikan
kepada ku lahir maupun bathin, sebagai pengorbanan untuk menebus kesejahteraan
ummat manusia hamba-Mu yang Engkau ridloi di dunia maupun di akhirat”.
Demikian lebih
kurang jika baca bunyi hati murani para
Ghouts zaman. Hal ini dapat kita simpulkan dari ahwal para beliau itu seperti
yang diuraikan dalam kitab-kitab manaqib atau biografi mereka. Disebutkan pula
diantaranya fungsi Ghouts zaman dalam hubungan perjuangan rohaniyah bagi
segenap makhluk, sebagai berikut :
لولا واحد الزمان يتوجه إلى الله فى أمر الخلائق لفجأهم أمر الله فأهلكهم
(تقريب الأصول : 53)
(Jika tidak ada seorang “wahiduzzaman” bertawajuh memohon
kehadirat Allah bagi perkara atau urusan segenap makhluk, pastilah dating balak
dari Allah yang mengejutkan makhluk dan membikin rusak mereka).
Demikian
pentingnya fungsi Ghoutsu Zaman atau disebut juga Wahiduzzaman atau Shulthonul
Auliya’ atau Quthbul Aqthob itu.
وأما الغوث فهو عبارة عن قطب عظيم ورجل عزيز وسيد كريم يحتاج إليه الناس عند
الإضطرار فى تبيين ما خفى من الأمور المهمة والإسرار ويطلب منه الدعاء وهو مستجاب
الدعاء إلخ (جامع الأصول ص : 3)
إذا مات القطب
الغوث انفرد الله بتلك الخلوة لقطب آخر (يواقت ثانى : 80)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar