بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
( اِذَا رَأَيْتَ
عَبْدًا أَقَامَهُ اللهُ تَعَالَى بِوُجُوْدِ اْلأَوْرَادِ وَأَدَامَهُ عَلَيْهَا
مَعَ طُوْلِ اْلاِمْدَادِ فَلاَ تَسْتَحْقِرَنَّ مَامَنَحَهُ مَوْلاَهُ ِلأَنَّكَ
لَمْ تَرَ عَلَيْهِ سِيَمَا اْلعَارِفِيْنَ وَلاَ بَهْجَةَ الْمُحِبِّيْنَ )
BISMILLAAHIR
ROHMAANIR ROHIM.
IDZAA ROAITA
‘ABDAN AQOOMAHULLOHU TA’ALA BIWUJUUDIL
AUROODI WA ADAA MAHU ‘ALAIHAA MAATHUULILIMDAADI, FALAATASTAHQIRONNA MAA MANAHAHU
MAULAAHU LIANNAKA LAM TARO ‘ALAIHI SIIMAL ‘AARIFIIN WALAA BAHJATAL MUHIBBIIN
FALAULAA WAARIDUN MAA KAANA WIRDUN”.
Orang
yang giat beribadah, giat bermujahadah dan tekun dengan istiqomah,
itu tidak boleh dianggap sepi, tidak boleh diremehkan lebih-lebih dihina, oleh karena
dia belum sadar dengan sadar yang khusus, masih belum wusul kepada Alloh,
ini perlu diperhatikan oleh mereka yang sudah mempunyai kesadaran
kepada Alloh SWT. Sebab orang yang sudah sadar kepada Alloh SWT itu
memang, sedikit banyak diberi mengerti kepada kawannya yang belum sadar, akan
tetapi tekun didalam beribadah, didalam mujahadah-mujahadah, jangan sampai
diremehkan, lebih-lebih diejek dengan ejekan-ejekan yang menjadikan
kendornya dia beribadah !. Sekalipun ada kawan yang masih belum ikhlas, belum
LILLAH BILLAH belum LIRROSUL BIRROSUL yang sungguh-sungguh masih
ada pamrih, jangan sampai diremehkan lebih-lebih dihina!. Malah supaya kita
bantu dengan lahiriyah dan batiniyah !. Batiniyah, senantiasa dimohonkan,
dimujahadahi, lahiriyah senantiasa dibantu dengan kebijaksanaan, ditepatkan
atau diberi petunjuk !. “FALAULAA WAARIDUN MAA KAANA WIRDUN”.
Sebab, sekalipun belum ikhlas betul-betul orang yang bermujahadah atau ibadah
apa saja, adanya dia mau beribadah itu adalah suatu pertolongan dari Alloh
SWT. Jika tidak ada pertolongan dari
Alloh SWT, Tentulah dia tidak mau ibadah atau mujahadah !. Sekalipun ibadahnya
atau mujahadahnya itu belum tepat. Masih ada pamrih misalnya.
Jadi siapa yang meremehkan lebih-lebih menghina kepada orang sudah giat
mujahadah atau ibadah lainnya, itu berarti suuul adab kepadanya. Dan berarti juga menghina
kepada Alloh SWT, adanya orang tadi giat beribadah atau mujahadah adalah mendapat
pertolongan dari Alloh SWT. Sekalipun belum lengkap
belum sempurna, tapi toh itu suatu pertolongan dari Alloh SWT !. Atau pada umumnya terhadap siapa saja, bagaimanapun keadaannya, kita tidak
boleh sekali-sekali meremehkan atau lebih-lebih mengejek !. Sebab istilah
“Mengejek” atau meremehkan” itu tidak ada campuran niat baik untuk memperbaiki.
Hanya bersifat menjatuhkan begitu saja !. Jangankan terhadap orang yang masih
belum tepat, sedang terhadap umum saja mengejek atau meremehkan
saja adalah dilarang !. Terkecam !. Lebih-lebih terhadap orang yang beribadah
atau orang yang berbuat baik !. Yang diperintah adalah memperbaiki!. Bukan
mengejek atau meremehkan, tetapi memperbaiki!. Memperbaiki keadaan yang belum
baik. Amar makruf nahi munkar !. Jadi mencegah perbuatan yang terkecam, merobah
atau memperbaiki dengan lahiriyah dan batiniyah, secara langsung dan
tidak langsung !. Dengan kemampuan yang ada padanya. Ini yang diperintah !.
Dan selain dari pada itu, dalam istilah kesadaran, semua itu makhluq Alloh SWT !.
Mengejek kepada salah satu Makhluqnya berarti mengejek kepada Kholiqnya !.
Mengejek kepada suatu perbuatan, berarti menghina kepada yang berbuat!.
Terkecuali terhadap hal-hal yang terkecam !. Jika perlu ya harus dihina, tapi
sifatnya, pertama harus atas dasar diperintah, sifatnya melaksanakan LILLAH !. Dan kedua yaitu harus
didasari BILLAH !. Dan dengan maksud memperbaiki.
Dan memperbaiki adalah juga perintah Tuhan. Memperbaiki keadaan yang bejad, dengan diberi nasehat, dengan
didoakan dan lain-lain.
Para hadirin hadirot, setiap pengajian, setiap kata dari pengajian harus dapat memanfaatkan yang
sebanyak-banyaknya !. Demi untuk FAFIRRUU ILALLOHI
WA ROSUULIHI SAW. Jika kita tidak memanfaatkan berarti kita tidak mensyukuri kemampuan yang diberikan Alloh Ta'ala
kepada kita !. Kita dikaruniai dapat
memanfaatkan tapi tidak mau memanfaatkan !. Otomatis jika tidak memanfaatkan, menyalahgunakan !. Mari para hadirin
hadirot, terus kita manfaatkan !.
Para hadirin hadirot, mari kita tinjau pengalaman-pengalaman yang telah
kita alami terutama yang secara langsung ada hubungannya dengan pengajian
yang kita bahas sekarang ini. Kesatu
yaitu seperti diutarakan tadi, jika kita melihat
seseorang yang tekun didalam ibadah atau mujahadah, sama sekali kita tidak
boleh menghina !. Soal tekun, adalah diperintah supaya kita senantiasa tekun
mengabdikan diri kepada Alloh SWT !. Menurut kemampuan yang ada pada
kita !. Ini sudah kita laksanakan atau belum, perlu adanya penelitian !.
Tekun
beribadah mengabdikan diri FAFIRRUU ILALLOHI WA ROSUULIHI SAW!. Bukan
berarti terus-menerus Mujahadah atau sembahyang didalam masjid saja yang
dimaksudkan tekun, akan tetapi mengisi bidang, mengisi segala bidang dengan
yang semestinya yaitu merupakan sebagian pelaksanaan FAFIRRUU ILALLOHI
WA ROSUULIHI SAW!.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلاِنْسَ اِلاَّ لِيَعْبُدُوْنَ
“WAMAA KHOLAQTUL JINNA WAL INSA ILLA
LIYA’UDUUNI”
(Dan tiada
AKU menciptakan jin dan manusia melainkan agar supaya mereka mengabdikan
diri kepada-KU). Atau mudahnya secara ringkas apakah sudah senantiasa
LILLAH BILLAH atau belum dan TAQDIIMUL AHAM - mendahulukan yang lebih
penting!. Jika belum, berarti belum tekun kita beribadah mengabdikan diri kepada
Tuhan!. Apakah berupa Mujahadah, apakah berupa sembahyang, ataukah
berupa bekerja dan sebagainya, apakah kita sudah betul-betul tekun didalam
melaksanakan semua itu sebagai ibadah kepada Alloh SWT Tuhan kita!. Perlu adanya
koreksi!. Sebab ini adalah suatu perintah !. Firman Alloh :
..
وَتَبَتَّلْ اِلَيْهِ تَبْتِيْلاً ( المزيل :٨ )
“WATABATTAL
ILAIHI TABTIILAN” (73-AI Muzammil 8)
(Dan beribadahlah
kepada-NYA dengan penuh ketekunan !.) Tekunlah kepada Alloh SWT !. Tekun
beribadah !. Apakah sembahyang, apakah mujahadah, apakah mencangkul ataukah
kepasar, mengayun menggendong
putranya, dan sebagainya, pokoknya segala gerak dan laku yang tidak terlarang!. Dan harus TAQDIMUL AHAM !.
Mendahulukan yang lebih penting !. Apakah semua itu sudah kita lakukan, perlu
adanya koreksi dan peningkatan !.
Kembali soal “menghina”. Menghina khususnya seperti yang diutarakan diatas.
Menghina kepada orang yang tekun ibadahnya sekalipun belum tepat ibadahnya,
itu terkecam !. Dan umumnya menghina kepada siapa saja dan apa saja, itu
terlarang !. Yah, kita sudah maklum tidak asing lagi, apa arti menghina itu. Suatu
perbuatan yang dilarang oleh Tuhan !. Dan juga akal, pendapat akal juga mengecam
kepada perbuatan menghina !. Dan seperti saya utarakan tadi, menghina kepada
suatu perbuatan, ini berarti menghina kepada yang berbuat!. Saya
mengecam terhadap suatu potongan baju misalnya, wah ini baju jelek potongannya.
Ini otomatis saya mengecam kepada yang membuat.
Mari kita lihat diri kita masing-masing, apakah kita sudah benar-benar selamat dari
perbuatan menghina, ini perlu sekali adanya koreksi dengan cermat!. Yah, kalau
menghina secara terang-terangan atau secara lisan, itu mudah diketahui.
Tapi ada suatu perbuatan yang tidak merasa menghina, tapi berakibat menghina, itu
mungkin terjadi. Maka perlu adanya koreksi yang makin lembut makin halus dan
teliti !. Dalam istilah “syirik” ada syirik jali syirik yang terang-terangan dan
ada “syirik khofi” - syirik yang samar-samar. Begitu juga menghina !.
Ada penghinaan yang terang-terangan dan ada penghinaan yang halus !.
Sehingga kadang-kadang yang dihina, dan kadang-kadang yang menghina
sendiri tidak merasa bahwa dia menghina. Itu mungkin saja terjadi. Oleh karena
itu perlu adanya koreksi yang makin halus !. Sekalipun tidak merasa menghina
atau sekalipun yang dihina tidak merasa dihina, akan tetapi perbuatan menghina
itu tetap dikecam oleh Alloh SWT Dan harus memikul resikonya lebih-lebih besok diakhirot!. وَالْحَاصِلُ اِنَّ
عِبَادَاللهِ الْمَخْصُوْصِيْنَ يَنْقَسِمُوْنَ قِسْمَيْنِ مُقَرَّبِيْنَ
وَاَبْرَارٍ فَالْمُقَرَّبُوْنَ هُمُ الَّذِيْنَ اُخِدُوْا عَنْ خُظُوْظِهِمْ
وَإِرَادَتِهِمْ وَقَامُوْا بِحُقُوْقِ رَبِّهِمْ عُبُوْدِيَةً لَهُ وَطَلَبًا
لِمَرْضَاتِهِ وَهَؤُلاَءِ هُمُ الْعَارِفُوْنَ وَالْمُحِبُّوْنَ وَاْلاَبْرَارُ
هُمُ اْلبَاقُوْنَ مَعَ حُظُوْظِهِمْ وَإِرَادَاتِهِمْ وَقَامُوْا بِعِبَادَةِ
رَبِّهِمْ طَمَعًا فِىْ جَنَّتِهِ وَهَرَبًا مِنْ نَارِهِ وَكُلُّ وَاحِدٍ...
“WAL HAASIL
ANNA ‘IBAADALLOHIL MAKHSHUUSIIN YANQOSIMUUNA QISMAINI
MUQORROBIINAWA ABROORIN. FAL-MUQORROBUUNA HUMUL-LADZIINA UKHIZHUU ‘AN HUZHUUZHIHIM WAIROODAATIHIM WAQOOMUU BIHUQUUQI ROBBIHIM ‘UBUUDIYYATAN LAHU WATHOLABAN LIMARDLOOTIHI, WAHAULAAI HUMUL-‘AARIFUUNA WAL
MUHIBBUUNA. WAL ABROORU HUMUL-BAAQUUNA
MA’A HUZHUUZHIHIM WA IROODAATIHIM WA
QOOMUU BI’IBAADATI ROBBIHIM THOMAAN FII JANNATIHI WAHAROBAN MIN NAARIHI. WA KULLU WAAHIDIN MINHUM MAMDUUDUN FII MAQOOMIHIL-LADZII HUWA FIIHI
BIMADATIN ILAHIYYIN IQTADLO
MINHUL-QIYAAMU BIHUQUUQI DZAALIKAL-MAQOOMI”
Jadi orang yang mengabdikan diri, orang ibadah kepada Alloh SWT ibadah apa saja, secara ringkas
dibagi menjadi dua bagian atau golongan. “MUQORROBUUN”
dan “ABROOR” ”Muqorrobuun” asal maknanya orang-orang yang didekat Alloh SWT.
Dalam
kehidupan sehari-hari kita sering mendengar istilah “dekat”. Misalnya pak Lurah dekat
dengan Pak Camat, dekat dengan Pak Bupati, dekat dengan Pak Presiden, dan
sebagainya.
“Abroor”, terambil dari kata “al birru” = kebagusan. “Baarrun” = orang yang berbuat
baik berbuat kebagusan. Abroor = orang-orang yang berbuat baik. Adapun yang
dimaksud disini, “MUQORROBIIN” yang berkedudukan tinggi, dan “ABROR”
sebawahnya. Jadi ada dua tingkatan. “Muqorrobiin” tingkatan yang nomor satu.
Kalau hanya seorang disebut “Muqorrob”. Jika wanita “Muqorrobah” dan jamaknya
“Muqorrobaat”. Tingkatan nomor dua yaitu “Abroor”.
“FAL
MUQORROBUUNA”.
Yang disebut “Muqorrobiin” yaitu orang-orang yang sudah dihilangkan, sudah
dimusnahkan kehendaknya, nafsunya, pamrihnya. Sudah sama sekali tidak mempunyai pamrih,
atau keinginan. Baik pamrih moril lebih-lebih pamrih materiil. Baik pamrih
dunia atau pamrih Akhirot. Sama sekali tidak mempunyai pamrih atau
keinginan. Mereka beribadah hanya semata-mata mengabdikan diri kepada Alloh, hanya
melulu mulus ‘ubudiyah kepada Alloh Ta’ala. FAFIRRUU ILALLOHI WA ROSUULIHI
SAW Semata-mata karena mengharap ridlo dari Alloh SWT. Mereka itu
disebut “AL ‘AARIFUUN” wal “MUHIBBUUN” kalau hanya seorang “Al ‘Aarif.
Wanita “Al ‘Arifaaf. Orang yang tahu. Tahu pada pribadinya. Mereka itu ialah
“Muhibbuun”, Muhibbah Muhibbaat” = orang-orang yang cinta kepada Alloh. Itu golongan
atau tingkatan kesatu. Muqorrobbun - orang yang tidak ada pamrih. Mereka
beribadah atau berbuat tidak ada pamrih, baik pamrih dunia maupun pamrih
akhirot, pamrih moril lebih-lebih pamrih materiil. Pamrihnya hanya satu yaitu
mengabdikan diri kepada Alloh SWT dan keridloan dari Alloh SWT.
Para hadirin hadirot, mari kita koreksi diri kita masing-masing, sudah tidak punya
pamrihkah atau bahkan lebih banyak pamrih ini dan itu ?. Ini perlu adanya
peninjauan !. Baik pamrih dunia, pamrih akhirot, pamrih materiil maupun pamrih
moril, mari kita selidiki diri kita masing-masing !. Orang-orang Muqorrobiin betul-betul
tidak punya pamrih. Dalam istilah WAHIDIYAH LILLAH !. Semata-mata karena
Alloh disamping BILLAH, yaitu bidang TAUHID. Inilah orang yang disebut sadar
kepada Alloh Ta’ala.
Sabda Sayyidinaa 'Ali Karromallohu wajhah, setengahnya ada yang mengatakan
Hadist tapi yang betul insya Alloh adalah sabda Sayyidina 'Ali :
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ
فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
“MAN ‘AROFA NAFSAH FAQOD ‘AROFA
ROBBAH”.
Barang siapa
tahu akan dirinya maka sungguh dia tahu kepada Tuhannya. Barang siapa yang
tahu kedudukan dirinya sebagai hamba, tentulah tahu Tuhan sebagai Tuhannya.
Atau juga bisa dibalik :
مَنْ عَرَفَ رَبَّهُ
عَرَفَ نَفْسَهُ
“MAN ‘AROFA ROBBAHU
‘AROFA NAFASHU”
Barang siapa
yang mengetahui Tuhannya, artinya menyadari Tuhan sebagai Tuhannya,
otomatis dia tahu dirinya sebagai hamba dari Tuhannya.
“Wal Muhibbuuna”-orang yang cinta, cinta kepada Alloh SWT. Jika orang tahu, sadar
kepada Alloh SWT otomatis dia cinta kepada-NYA. Otomatis, tidak bisa tidak !.
Dan orang yang tidak tahu, otomatis tidak bisa cinta. Jika kita tahu kepada barang
atau orang lain, tentu tidak mungkin kita bisa cinta kepada barang atau orang lain yang tidak kita
ketahui itu. Adanya cinta, karena tahu lebih dahulu
!. “Mengetahui” itu jalannya tidak hanya lewat mata saja. Lebih banyak dari itu, jalannya “mengetahui” itu dari lahiriyah
dan bathiniah. Lewat pendengaran telinga,
lewat rasa, lewat hidung, lewat pengertian fikiran, lewat perasaan hati dan
sebagainya. Sesudah mengetahui atau mengenal barulah timbul senang atau cinta. Tidak mungkin cinta jika tidak
mengenal terlebih dahulu.
Itu tadi jalannya tahu lewat bermacam-macam saluran, lewat mata karena
bentuk dan rupanya, lewat telinga karena merdu suaranya dan sebagainya. Lebih-lebih
keindahan di surga. Dikatakan seandainya benda di surga baik rupa, suara atau rasa
dirasakan atau didengar atau dilihat oleh orang dunia, otomatis dia mati
seketika itu juga. Saking lezatnya.
Jadi mudahnya, timbul rasa senang itu karena tahu atau ada hubungan. Maka jika
orang sadar kepada Alloh SWT, pasti cinta kepada Alloh SWT. Dan cinta itu makin mendalam jika makin tinggi sadarnya kepada Alloh SWT. Jika orang !ebih
banyak sadarnya kepada Alloh SWT, otomatis semakin mendalam cintanya
kepada Alloh SWT, dan otomatis semakin banyak ibadahnya kepada Alloh. Lebih
banyak cintanya, lebih besar takzimnya menghormat kepada Alloh SWT !. Para
hadirin hadirot, diantara kita sudah sampai dimana, kesadaran dan cinta kita
kepada Alloh SWT ?. Mari kita koreksi keadaan kita masing-masing !. Seberapakah
sadar kita kepada Alloh SWT ?. Sampai dimana tahu kita terhadap kedudukan
diri kita sebagai hamba ?. Seberapa besar cinta kita kepada Alloh wa Rosuulihi
saw ?. Mari senantiasa kita adakan penelitian, demi untuk peningkatan!.
Jika kita menganggap sepi soal ini, kita lenggang-lenggang kangkung saja.awas nanti
jika sudah ganti alam, akan merasakan akibatnya. Akan terkejut yang tidak
dapat digambarkan betapa hebatnya !.
Jadi orang yang-yang sudah tidak ada pamrih, disebut “muqorrobuun” atau
“Arifuun”. Orang-orang yang didekat dan dikasihi Alloh SWT, atau orang-orang yang
sadar kepada Alloh. Al ‘Aarifuuna Billah” atau “Al ‘Aalimuuna Billah”, itu sama
pengertiannya. Dalam istilah bahasa ada perbedaan arti antara ilmu dan ma’arif.
AL ‘Aalim, itu baru teori. Orang yang mengetahui menurut teori atau menurut ilmiah.
Tapi “Al ‘Aarif Billah”, disamping mengetahui teori, dia juga praktek apa yang
diketahui itu. Sebagai gambaran, orang yang hanya mengerti bahwa garam itu
asin rasanya, gula itu manis, dalam pada itu dia sambil mencicipi garam atau
gula dimulutnya, itulah istilah “Al-Aarif”. Jadi ada perbedaan. Yang satu hanya
berhenti sampai pada pengertian atau keyakinan, dia mengetrapkan atau menjalankan
apa yang di ngerteni apa yang diyakini. Jadi teori dan praktek sekaligus
dalam waktu seketika itu juga.
Kita
yakin bahwa Alloh SWT Maha Kuasa, Maha Murah,.......... Maha............Maha..........Maha............!. Tetapi kita lupa bahwa Alloh SWT senantiasa
mengincar kepada kita !. Kita mengerti dan yakin bahwa Alloh SWT Maha Mengetahui, tetapi kita lupa atau tidak menyadari
bahwa Alloh SWT senantiasa melihat,
senantiasa mengawasi segala gerak-gerik laku kita !. Inilah kelemahannya keyakinan yang hanya teori !. Teori mahir, tapi
prakteknya justru berlawanan dengan teori yang diketahui bahkan diyakininya !.
Ini bukan ma’rifat!.
Kita tahu, kita yakin
bahwa Alloh SWT Maha Kasih Sayang, Maha Memberi.
Tapi kita tidak merasa bahwa kita senantiasa diberi oleh Alloh SWT !. Itulah kalau hanya teori !. Yah, sekalipun sudah
baik, tapi, tapi masih sangat terkecam.
Mari para hadirin hadirot, perlu sekali adanya peningkatan dalam segala bidang !. Terutama bidang keyakinan dan kesadaran
kita kepada Alloh SWT wa Rosuulihi
saw!.
“Wai Abroor” ..........
Yang kedua, yaitu “Abroor” - orang-orang yang baik. Tapi mereka masih melekat
pamrihnya. Ingin selamat, ibadah agar bahagia dunia akhirot, ingin untung dsbnya. Biar
mudah jembar rizki atau mau baca Sholawat Nariyah. Saya mempeng baca
Surat Waqi’ah biar menjadi kaya. Baca Ayat Kursi biar begini dsbnya.
Ibadah biar selamat dunia khirot, biar mudah usaha, biar......biar................Begini begitu. Ini pamrih namanya. Kalau begini,
namanya dia belum bebas dari imprialis
nafsu !. Masih dikuasai oleh nafsu!. Nafsu kesukaannya senantiasa enak dan kepenak, senantiasa selamat, senantiasa
bahagia lahir batin dsb . Ini kesenangan
nafsu !. Ciri-cirinya nafsu !. Ibadahnya karena didorong oleh keinginan masuk sorga, biar selamat dari neraka !.
رَبَّنَا اَتِنَا فِىْ
الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِىْ اْلاَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“ROBBANAA AATINAA FID-DUNYA HASANAH WAFIL
AAKHIROTI HASANAH WAQINAA ‘ADZAABAN-NAARI”.
Ingin baik
didunia, baik diakhirot dan terjauh dari siksa neraka. Inilah orang yang masih penuh
dengan pamrih !. Diantara kita menempati yang mana, mari kita masing-masing
koreksi diri !.
Sekalipun para Abroor tersebut masih banyak pamrih dalam ibadah mereka, tapi
kita tidak mengecam !. Kita harus menghormat, kepada orang-orang yang giat ibadah, sekalipun masih
ada pamrih !. Dan disamping kita harus menghormat,
kita supaya usaha bagaimana agar ibadah mereka menjadi lebih baik, lebih sempurna, lebih mulus !. Usaha secara
lahir dan batin !. Antara lain agar
supaya ibadahnya yang didasari pamrih itu ditingkatkan didasari LILLAH BILLAH !. Ini kita berkewajiban mengusahakan !.
Berkewajiban memperbaiki !. Disamping
memperbaiki orang lain !. Lahiriyah dan batiniyah !. Sudah kita laksanakan ataukah belum, para hadirin hadirot?.
Jadi ringkasnya pengajian orang yang beribadah kepada Alloh itu dapat digolongkan
kedalam dua golongan atau tingkatan. Satu yang disebut “MUQORROBUUN”
atau “AARIFUUN atau MUHIBBUUN. Dan yang kedua yaitu tadi, orang
yang sudah dapat melaksanakan LILLAH BILLAH LIRROSUL BIRROSUL.
Jika belum dapat melaksanakan ini, namanya masih “ABROOR”. Ibadahnya
didorong oleh keinginan agar supaya selamat dunia akhirot, agar supaya
jembar rizkinya dsbnya.
Saya teringat sejarahnya Siti Robi’ah Al ‘Adawiyah. Ini terutama buat
perhatian kaum ibu, baik !.
Suatu ketika
Siti Robi’ah Al ‘Adawiyah dalam suatu munajatnya berbicara kepada Tuhan antara
lain :
يَارَبِّ مَا عَبَدْ تُكَ
طَلَبًا لِجَنَّتِكَ وَهَرَبًا مِنْ نَارِكَ
“YAA ROBBI,
MAA ‘ABADTUKA THOLABAN LIJANNATIKA WAHAROBAN MIN NAARIKA”
(Ya Tuhan,
aku beribadah kepada-MU bukan karena mengharap sorga-MU dan bukan karena
takut neraka-MU). Tapi semata-mata hanya kepada-MU yaa Tuhan !. Itu
Siti Robi’ah!. Pada waktu itu betul-betul mulus mengabdikan diri ibadah kepada Alloh,
tidak ada pamrihnya. Tapi sayangnya belum tepat BILLAH-nya. LILLAH sudah
tepat, tapi BILLAH belum !. Pada waktu itu. Tetapi setelah itu ya terus ada
peningkatan.
Jadi,
sudah tepat LILLAH-nya, tidak ada pamrih, tetapi BILLAH-nya belum, masih mengaku bisa ibadah, itu mungkin saja
terjadi. “Aku beribadah”. Ini berarti
mengaku !. Mengaku bisa beribadah. Lupa dan tidak menyadari bahwa yang menggerakkan dia beribadah itu Tuhan !. Ini
gerak-gerik hatinya. Adapun dalam
ucapan, itu tidak menjadi soal. Yang penting hatinya. Biar lisannya mengatakan “aku beribadah”, tapi hatinya
betul-betul BILLAH, tidak apa-apa. Tapi
kalau belum merasa BILLAH, inilah yang berbahaya !.
Jadi bidang LILLAH mungkin saja sudah sempurna betul seperti LILLAH-nya
ABROOR tadi, sebab sudah tidak ada pamrih. Sedangkan tingkatan MUHIBBUUN
atau ‘AARIFUUN otomatis sudah LILLAH BILLAH !.
Mari kita usaha terus untuk meningkatkan !. Dan untuk yang lebih sempurna
lagi !. Apakah kita sudah LILLAH BILLAH betul-betul, mari teruus kita koreksi
!.
Keterangan
diatas tidak berarti melarang orang cinta kepada selain
Tuhan, tidak berarti tidak boleh takut
kepada selain Tuhan, tidak berarti begitu !.
Akan tetapi didalam cinta kepada selainnya Tuhan, didalam takut kepada selain
Tuhan, itu justru harus kita dasari
cinta atau dasar takut kepada Tuhan !. Didasari
karena diperintah oleh Tuhan !.
Maksudnya begitu, silahkan……………..
رَبَّنَا اَتِنَا فِىْ
الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِىْ اْلاَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“ROBBANAA AATINAA FID-DUNYA HASANAH WAFIL
AAKHIROTI HASANAH WA QINAA
‘ADZAABAN-NAARI”.
(Yaa
Tuhan kami, datangkanlah kepada kami kebaikan hidup didunia dan kebaikan
hidup diakhirot, dan jauhkanlah kami dari siksa neraka) Silahkan !. Bahkan
kita diperintah usaha dan memohon “hasanah” - kebaikan didunia dan diakhirot!.
Kita diperintah menjauhkan diri dari neraka, diperintah menghindarkan diri
dari hal-hal yang buruk yang merugikan !. Kita boleh, dan bahkan diperintah
:
اَللَّهُمَّ ارْزُقْنَا
مَالاً كَثِيْرًا اَللَّهُمَّ ارْزُقْنَا رِزْقًا وَاسِعَةً
“ALLOHUMMAR-ZUQNAA
MAALAN KATSIIRO, ALLOHUMMAR-ZUQNAA ARZAAQOW-WAASI'A”. dan
sebagainya. Tetapi didalam kita memohon dan usaha
kearah itu harus dasar diperintah ? LILLAH !. Menurut atau menjalankan perintah
Alloh !. Beribadah, mengabdikan diri kepada Alloh !. Jangan didasari keinginan
nafsu !. Ini yang tidak boleh !. Terkecam !. Jika sudah didasari LILLAH, cinta
kepada selain Alloh itu sesungguhnya tidak cinta, sebab dasarnya cinta itu dasar
diperintah. Diperintah cinta !.
وَالتَّقُوْا النَّارَ
الَّتِىْ اُعِدَّتْ لِلْكَفِرِيْنَ ( الى عمران : ١٣١ )
Banyak didalam Al Qur’an perintah-perintah Alloh supaya takut kepada hal-hal
yang tidak baik. Antara lain :
وَسَارِعُوْا إِلَى
مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَاْلاَرْضُ
أُعِدَّتْ لِلْكَفِرِيْنَ ( الى عمران : ١٣٣ )
“WATTAQUN-NAAROLLATII
U’IDDAT LIL KAAFIRIINA” (3 Ali Imron 131)
(Dan
peliharalah dirimu dari api neraka yang disediakan bagi orang-orang kafir)
“WASAARI’UU
ILA MAGHFIROTIN-MIN ROBBIKUM WAJANNATIN ‘ARDLUHAS-SAMAAWAATU
WAL ARDLU U’IDDAT LIL MUTTAQIINA” (3 Ali ‘Imron 133)
(Dan
cepat-cepatlah kamu menuju ampunan Tuhanmu dan menuju sorga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa).
Begitu antara lain, tapi yang dimaksud, takutlah
karena KU perintah takut!. Jangan takut karena perasaanmu sendiri !.
Jadi jika dasarnya takut itu perasaan sendiri, itu
pamrih namanya!. Tetapi jika dasarnya LILLAH, itu bukan
pamrih !. Melainkan menjalankan perintah !. Perintah
supaya takut.
Tentunya apa yang saya utarakan itu sudah difahami oleh masyarakat pada
umumnya, tapi disamping faham, yang penting dan pokok yaitu pelaksanaan
!. Tentu saja pelaksanaan tanpa faham, tidak mungkin. Dapat melaksanakan
otomatis setelah faham. Ya mungkin ada yang sudah melaksanakan
tetapi belum faham. Itu mungkin saja. Tetapi jarang sekali dan secara
kebetulan.
Kembali sedikit mengenai Siti Robi’ah Al ‘Adawiyah.
Beliau seorang wanita yang luar biasa ibadahnya. Banyak cerita didalam
kitab-kitab Tasawuf mengenai Robi’ah. Ini penting terutama untuk
perhatian kaum ibu, disamping bapak juga. Siti Robi’ah pada
suatu waktu pernah dipinang oleh gubernur Basrah. Jika dia
mau menjadi istri gubernur, tiap bulannya akan diberi belanja 10 ribu dinar.
Dan disamping tiap bulan 10 ribu dinar, dia diberi uang kontan 100 ribu dinar.
Siti Robi’ah memberi jawaban dengan surat,
katanya : saya tidak ingin bantuan gubernur menjadi budak saya. Tuan Gubernur
dan seluruh hartanya yang akan diberikan kepada saya, saya tidak mau menerima,
sebab menjadi penghalang kesadaran kepada Alloh SWT”!. Begitu
kekuatan himmah Siti Robi’ah didalam menuju kesadaran Alloh !. Aku tidak ingin
seluruh hartamu engkau berikan kepadaku
sedang engkau menjadi lupa kepada Alloh SWT!. Walau hanya sekejap mata!.
Begitu para hadirin hadirot, Siti Robi’ah !. Maaf kaum ibu, bagaimana seandainya
kaum ibu menerima penawaran seperti dialami Siti Robi’ah itu ?. Beliau Siti Robi’ah lupa sekejap mata saja kepada
Alloh SWT tidak mau ditukar dengan harta kekayaan yang berapapun banyaknya. Itu hanya lupa sekejap !. Lebih-lebih sejam, Lebih-lebih sehari,
Lebih-lebih terus-terusan.
Diantara kita bagaimana para hadirin hadirot ?. Mari kita koreksi diri
kita
masing-masing !. Tidak hanya kaum ibu saja, kaum bapak
juga harus adakan
koreksi !. Bagaimana kita ?. Dengan uang 100 rupiah saja, kita sudah
lupa
daratan !. Bahkan berani menjual agama ditukar dengan uang atau pangkat
kedudukan, para hadirin hadirot!. Bahkan tidak yang
mau membelipun ditawar-
tawarkan !. Mari para hadirin hadirot!. Mari kita akui kelemahan-kelemahan dan
kekurangan-kekurangan kita !. Jangan kita mungkir
dihadapan Alloh SWT wa Rosuulihi saw !.
AL
FAATIHAH
BISMILLAAHIR
ROHMAANIR ROHIIM…….
يَارَبَّنَا
اَللَّهُمَّ صَــلِّ سَــلِّــْم
|
*
|
عَـلَى مُحَمَّدٍ
شَـفِـيْعِ اْلاُمَـــمِ
|
وَاْلاَلِ وَاجْعَلِ
اْلأَنَامَ مُسْرِعِيْنَ
|
*
|
بِالْـوَحِــدِيَّةِ
لِرَبِّ اْلعَالَمِـيْـنَ
|
يَارَبَّنَا اغْفِرْ
يَسِّرِ افْتَحْ وَاهْـدِنَا
|
*
|
قَرِّبْ وَأَلِّـفْ
بَـيْـنَـنَا يَارَبــَّنَا
|
YAA
ROBBANALLOHUMMA SHOLLI SALLIMI, ‘ALAA MOHAMMADIN SYAFII’IL UMAMI.
WALALI WAJ’ALILANAAMAMUSRI’IIN, ILWAAHIDIYYATI LIROBBIL ‘ALAMIIN. YAA
ROBBANAGHFIR YASSIRI-IFTAH WAHDINAA, QORRIB WA ALLIF BAINANAA YAA
ROBBANAA. (3 Kali)
AL
FAATIHAH !.
قَوْمٌ أَقَامَهُمُ
الْحَقُّ لِخِدْمَتِهِ وَقَوْمٌ إِخْتَصَّهُمْ بِمَحَبَّتِهِ , كُلاًّ نُمِدُّ
هَؤُلاَءِ مِنْ عَطَاءِ رَبِّكَ , وَمَا كَانَ عَطَاءُ رَبِّكَ مَحْظُوْرًا
(QOUMUN AQOOMAHUMULLOHU LIKHIDMATIH WAQOUMUN IKHTASHSHOHUM
BIMAHABBATIH KULLAN-NUMIDDU HAA-ULAAI WA HAA-ULAAI MIN
‘ATHOOI ROBBIKA WA MAA KAANA ‘ATHOOU ROBBIKA MAHZHUURON)
Ada
sebahagian kaum atau manusia yang oleh Alloh dititahkan untuk khidmah mengabdikan
diri kepada Alloh Ta’ala. "”Bi thoo’atihizhzhohiriyyah”-dengan ibadah-ibadahlah
lahiriyah sehingga mereka kelak diperizinkan menjadi penghuni sorga. Maksudnya
yaitu yang nomer dua tadi, golongan “Abroor”, atau mereka mereka yang
disebut “Zaahiduun” orang-orang yang bertapa mengasingkan diri (hatinya) dari
kesenangan duniawi, dan mereka-mereka yang disebut “Aabiduun”-orang yang
tekun dengan ibadah-ibadah lahiriyah.
Dan
ada lagi orang-orang yang dipilih oleh Alloh SWT, diistimewakan menjadi orang-orang
yang cinta kepada dan dicintai Alloh SWT. “Hatta sholahuu liqurbihi wad-dhukuul
fii hadlrotihi ....”. Sehingga kemudian mereka-mereka itu dijadikan orang-orang
yang diperkenankan dekat kepada Alloh SWT. Diperkenankan beroudensi
sowan menghadap dihadirot Alloh SWT. “Wahumal ‘Aaarifuun wal Muhibbuun”.
Mereka itu disebut ‘Aarifuun-orang-orang yang sadar kepada Alloh dan
“Muhibbuun”-orang-orang yang cinta dan dicintai Alloh SWT. dan golongan ini lebih
tinggi kedudukannya, martabatnya dari yang pertama tadi.
وَالْكُلُّ
مُشْتَرِكُوْنَ فِىْ اْلاِنْتِسَابِ إِلَيْهِ وَخِدْمَتِهِ , لَكِنْ خِدْمَةُ
اْلأَوَّلِيْنَ أَكْثَرُهَا بِالْجَوَارِحِ وَاْلاَخِرِيْنَ أَكْثَرُهَا
بِاْلقَلْبِ ...
Kedua-duanya,
yang pertama dan kedua tadi, sama-sama khidmah mengabdikan diri kepada
Alloh SWT. yang pertama, yakni Abroor atau Zaahiduun atau ‘Aabiduun
kebanyakan ibadahnya dengan anggauta lahiriyah. Boleh jadi membaca Qur’an,
membaca sholawat, membaca zikir, mujahadah-mujahadah, berpuasa sunnah,
sembayang-sembayang sunnah dan sebagainya. dan golongan kedua yaitu ‘Aarifuun atau Muhibbuun
sebagian besar ibadahnya dengan hati.
Dengan rasa dalam hati, kesadaran hati. Ini sebahagian besar. Jadi tidak berarti keseluruhannya begitu.
Jadi
ringkasnya, hamba Alloh SWT tergolong-golong manjadi dua. Yaitu golongan nomer
satu dan nomer dua tadi. Menyebutnya nomer satu yakni “Abroor” di dahulukan
disini. Akan tetapi mengenai martabatnya, yang disebut nomer dua yakni
“Muhibbuun” atau Aarifuun itulah yang nomer satu. Jadi belum tentu bahwa yang disebut pertama
itu mesti nomor satu dalam nilainya. Kebanyakan dalam menyebut beberapa
martabat yang berbeda-beda, yang nomer satu atau paling tinggi atau
paling pertama, itulah yang didahulukan. Tetapi ya tidak mesti begitu. Suatu contoh
yang mendahulukan yaitu hadiah-hadiah dalam Tahlil misalnya. Ilaa
hadroti.... Ilaa hadroti……yang didahulukan yang paling tinggi kedudukannya. Yaitu junjungan kita Rosuululloh saw
dan seterusnya. Dalam menyebutkan “Mukminiin”
dan “Muslimiin” seperti dalam istiqhfar:
وَلِجَمِيْعِ الْمُؤْمِنِيْنَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ
Jika ada kata
“Mukminiin” dan “Muslimiin” beruntun , yang harus didahulukan adalah
“Mukminiin” dari pada “Muslimiin”. Sebab “Mukminiin” nilainya lebih tinggi dari pada
“Muslimiin”. Tetapi jika tidak beruntun, maka yang dimaksud “Mukminiin” juga
“Muslimiin”. Jadi sama kedudukannya. Ini peraturan. Peraturan adab dan peraturan tata
bahasa. Dibalik menyebutnya boleh saja, akan tetapi menyalahi peraturan adab
dan peraturan tata bahasa.
“Kullan-numiddu haaulaai……. kedua-duanya
tersebut, baik Abroor maupun Aarifiin
atau Muhibbiin kedua-duanya sama-sama mendapat fadlol dari Alloh SWT. Otomatis yang nomor satu “Aarifuun”
mendapat fadlol lebih banyak dari yang nomer dua “Abroor”. Kepada kedua-dua golongan
kita harus sama-sama menghormat!.
Sekalipun kepada “Abroor” kita tidak boleh meremehkan !. Harus
tetap menghormat!. Sebab kedua-duanya sama-sama mendapat fadlol dari
Alloh SWT. Tentu saja menghormat kepada yang lebih tinggi martabatnya
harus lebih baik dari pada kepada yang sebawahnya.
Ini
saya mengutip dari kitab “Taqriibul-Wushuul”
مَنْ خَرَجَ عَنْ
مَحَبَّةِ الدُّنْيَا سُمِّىَ عَابِدًا اَوْ زَاهِدًا
“MAN KHOROJA ‘AN MAHABBATID-DUNIA SUMMIYA ‘AABIDAN
AU ZAAHIDAN”
Barang siapa
yang keluar dari kesenangan duniawi dinamakan “Aabid” atau “Zaahid”
-orang yang bertapa. Baju compang camping, makan seadanya tidak pernah
enak-enak, sebab jika makan didunia enak-enak besok disurga berkurang enaknya,
katanya. Dan sebagainya, dan sebagainya. Itu disebut “Zaahiduun” atau
“Aabiduun”.
مَنْ خَرَجَ عَنْ
نَفْسِهِ وَهَوَاهَا سُمِّيَ عَارِفًا
“MAN KHOROJA ‘AN NAFSIHI WA HAWAAHA SUMMIYA
‘AARIFAN”
Barang siapa
yang keluar dari pengaruh kekuasaan nafsunya, yang sudah bebas dari
imperialis nafsunya, disebut “Aarifuun” atau “Muhibbuun” atau “Muqorrobuun” tadi. Ma’rifat
kepada Alloh itu dengan pandangan mahabbah. Cinta dan takzim kepada Alloh
SWT . Terhadap nafsunya, orang yang ma’rifat kepada Alloh memandangnya
sebagai lawan, sebagai musuhnya. Seperti yang dinyatakan oleh nabi
Yusuf ‘alaihissalam dalam Qur’an :
وَمَا أُبْرِئُ نَفْسِى
اِنَّ النَّفْسَ َلاَمَّارَةٌ بِالسُّوْءِ....
“WAMAA UBARRIU
NAFSII INNAN-NAFSA LA AMMAAROTUN BISSUKI”. Tidak henti-hentinya aku
selalu curiga kepada nafsu. Oleh karena nafsu senantiasa mengajak kepada
hal-hal yang buruk.
Kita
bagaimana para hadirin hadirot ?. Itu seperti anak-anak bermain jumpritan.
Selama tidak jumprit dengan tempat yang dijadikan jumpritan, terus dikejar oleh
yang menjadi pemburunya.
Wassalaam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar